Jumat, 13 September 2013

RELA BERKORBAN DEMI KEBAHAGIAAN ORANG LAIN



Drs. Siti Safuroh, M.Si
 (Guru PAI SMP N 2 Giriwoyo, Wonogiri, Jawa Tengah)


Duta Jawa Tengah dalam lomba guru teladan tingkat nasional ini, sejak kanak-kanak sama sekali tidak pernah membayangkan kelak setelah dewasa mau menjadi apa. Yang penting apa yang dia miliki dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat atau orang banyak. Boleh dikata, keinginannya sangat abstrak sekali.
Untuk mencapai cita-citanya itu, pehobi berat membaca, menulis  dan berorganisasi ini sangat menghargai waktu. Sepanjang waktu dalam kesehariannya ia habiskan untuk melahap buku-buku dan menggoreskan pena di kertas putih atau berlama-lama didepan komputer untuk menuangkan gagasannya di sela-sela kesibukan, sejak menjalani tugas belajar, hingga menjadi pengabdi pendidikan dan ibu rumah tangga yang mendampingi suami dan mengurus dua anak yang menjadi buah hatinya.
“Kesukaan saya sejak kecil hingga mahasiswa adalah membaca dan menulis serta berorganisasi. Alhamdulillah hobi membaca dan menulis kini masih melekat. Sedang  kumpul-kumpul untuk berorganisasi agak saya kurangi, karena setelah berkeluarga saya mengurangi aktivitas di luar rumah atau berorganisasi,” kata Safuroh.
Memilih hobi membaca dan menulis merupakan pilihan  yang tepat baginya, karena aktivitas ini sangat didukung oleh lingkungan tempat ia lahir dan menjalani masa anak-anak sampai remajanya. Tempat kelahiran dan tempat tinggalnya di Desa Bandung, Kecamatan Tegak Selatan, Kota Tegal merupakan lingkungan yang sangat religius.
Dalam keseharian anak-anak di kawasan ini sangat terkontrol dengan kegiatannya. Banyak aktivitas pengajian, mulai dari belajar mengenai huruf Arab, membaca Al Qur’an sampai mengaji kitab-kitab yang diawasi oleh para kyai di kampung sangat membantu pembentukan watak masyarakatnya.
Keberadaan lembaga pondok pesantren Mambaul Ulum dibawah asuhan Kyai Abdul Hamid Yusuf juga sangat membantu pembentukan watak dan moral anak-anak yang tinggal di kawasan Tegal Selatan khususnya Desa Bandung. Di dalam masyarakat yang sangat kental dengan pengamalan nilai-nilai agama Islam. Itulah Safuroh menghabiskan masa kecil hingga remajanya.
Sepanjang hari, seusai mengikuti pelajaran sekolah formal, waktunya ia habiskan untuk beraktivitas di lingkungan Pondok Pesantren Mambaul Ulum bersama-sama dengan teman sebayanya. “Di lingkungan seperti itulah dulu saya bermain, beraktivitas dan belajar agama bersama teman-teman sepanjang siang, sore dan malam hari. Seakan di sepanjang waktu kita ditunggui oleh guru ngaji, santri senior dan pak kyai,” katanya.
Dengan lingkungan yang sangat religius seperti itulah anak pasangan Toyib Abdullah dan Harisa, yang memiliki perhatian besar terhadap pendidikan anak-anaknya. Orang tua Safuroh merasa mantap menyekolahkannya di lembaga pendidikan umum yang porsi pelajaran agamanya sangat terbatas. Karena bekal ilmu agama sudah diperoleh dari guru-guru ngaji di kampung dan pondok pesantren Mambaul Ulum.
Memang pendidikan formal dari tingkat dasar hingga menengah atas yang dilalui anak keempat dari lima bersaudara ini semuanya lembaga pendidikan umum. Masing-masing SDN Bandung 1 Tegal (lulus tahun 1977), SMPN 1 Tegal (lulus 1981), dan SMAN 1 Tegal (lulus 1984). Selama duduk di bangku sekolah formal itu Safuroh tergolong siswa berprestasi. Selepas SMP, tiga sekolah negeri di kota kelahirannya dimasuki, masing-masing Sekolah Pendidikan Guru Negeri (SPGN) Tegal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Negeri (SMEAN) dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Tegal,  dan ia dinyatakan diterima di ketiga sekolah itu. Namun yang dipilih adalah SMAN 1 Tegal.
Seusai dari SMA, Safuroh masuk ke Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang. Gelar sarjana pendidikan berhasil ia peroleh pada tahun 1989. Ketika memilih untuk masuk ke IAIN Walisongo banyak orang yang bertanya. “Kok berani-beraninya masuk IAIN?” Mengingat pendidikan yang dilalui adalah sekolah umum dan bukan sekolah agama? Demikian tanda tanya yang mengiringi upayanya untuk masuk ke IAIN Semarang.
“Ya pertanyaan seperti itu muncul dari teman-teman saya sewaktu di SMP dan SMA, ketika saya lulus SMA dan memilih masuk ke IAIN. Pertanyaannya bernada meragukan kemampuan saya. Apa bisa lolos? Setelah masuk apa bisa mengikuti perkuliahan? Mengingat program studi dan perguruan tinggi yang saya masuki tidak sejalur dengan pendidikan formal yang saya lewati sejak pendidikan tingkat dasar hingga menengah, saya tidak pernah sekolah di MI, MTs atau MA,” katanya
Keraguan akan kemampuannya itu merupakan sesuatu yang wajar kalau dalam melihat sosok wanita energik dan kalem ini hanya dari sudut pandang asal-usul pendidikan formalnya sebelum masuk ke IAIN. Namun setelah mengetahui aktivitasnya di luar kegiatan formalnya, tentu orang akan segera mafhum. Kenapa Safuroh berani masuk ke IAIN? Karena tenggang waktu  di luar jam sekolah formalnya ia manfaatkan untuk memperdalam ilmu agama, melalui kegiatan mengaji kepada para kyai kampung dan pondok pesantren Mambaul Ulum yang dekat dengan tempat tinggalnya.
Proses studinya di IAIN Walisongo Semarang ia lalu dengan mulus, hingga akhirnya lulus tepat waktu di tahun 1989. Kesuksesan menyelesaikan pendidikan jenjang S1 di ulangi kembali ketika ia masuk program pasca sarjana S2, dengan konsentrasi Pendidikan Islam di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Gelar Master Studi Islam ia raih di tengah-tengah kesibukannya sebagai pengajar dan penulis buku pada tahun 2005.
Dan sederet bangku pendidikan yang ia lalui itu, studi di IAIN Walisaongo Semarang dirasa sangat mengesankan bagi dirinya sendiri. Kala itu masuk IAIN, proses perkuliahan dengan sistem SKS baru saja diterapkan di perguruan tinggi IAIN. Semula sistem ini dikhawatirkan akan memberatkan mahasiswa baik di kampus maupun di luar kampus.
Ketatnya jadwal kuliah yang seakan memposisikan mahasiswa selalu diburu waktu agar cepat menyelesaikan kuliah tidak mengganggu upayanya dalam mengaktualisasikan dan mengembangkan bakat, hobi dan kesukaannya. Di tengah-tengah kesibukannya untuk menyelesaikan kuliah, Safuroh masih menyempatkan diri untuk beraktivitas dalam kegiatan mahasiswa.
Aktivitasnya yang digelutinya selama menjadi mahasiswa diantaranya Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, Pergerakan  Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Semarang, Pramuka dan Pers Kampus melalui Surat Kabar Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang ”Amanat”.
“Di pers kampus itulah saya mendapatkan pengalaman yang sangat berharga. Dunia tulis menulis ‘yang sebenarnya’ saya dapat dari sini. Kegiatan kecil-kecilan seperti mengelola majalah dinding sewaktu di SMP dan SMA bisa saya kembangkan di sini,” katanya.
Sebagai mahasiswa yang mengambil studi Tarbiyah, ia lebih suka menulis artikel-artikel yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Kegemarannya menyoroti perkembangan dunia pendidikan ia tuangkan dalam tulisan yang dikirim ke berbagai media massa, penerbitan penerbitan khusus seperti Bulletin SMP-SMA yang terbit di Wonogiri.
Selain mengembangkan hobi menulis artikel, ia juga menulis buku-buku pelajaran Pendidikan Agama Islam untuk anak-anak sekolah dan LKS. Beberapa diantaranya diterbitkan oleh penerbit dari Jakarta, sehingga karya-karyanya kini menghiasi rak-rak buku di sejumlah toko buku di tanah air  dan dinikmati sebagian murid di Indonesia yang belajar agama melalui buku PAI yang ditulisnya. Berkat ketekunan dan keteladanannya itu, Safuroh meraih penghargaan yang berkait dengan pendidikan. Terakhir meraih juara ke-2 Guru Teladan Tingkat Nasional mewakili Jawa Tengah.
Terdorong oleh cita-citanya yang sederhana itu, berguna bagi nusa bangsa dan agama, Safuroh selalu melangkah dengan enteng. Berbagai kegiatan yang bermanfaat ia lalui dengan baik. Setelah mengakhiri masa lajangnya tahun 199, ia menyertai suaminya yang berdinas di kota Wonogiri. Ia memulai langkah baru dengan menjadi guru wiyata bakti di SMA Negeri 1 Wonogiri dan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Wonogiri Jawa Tengah. Selang beberapa tahun Safuroh diangkat menjadi PNS yaitu di tahun 1997. Dan selama meniti karir sebagai guru, ia merintis berdirinya Taman Pendidikan Al Qur’an (TPQ) Istiqlal untuk mempersiapkan anak-anak di sekitar tempat tinggalnya agar bisa membaca Al Qur’an dan belajar agama Islam.
Di mata Safuroh tugas mendidik anak-anak dan membekali ajaran agama saat ini menghadapi tantangan yang berat. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat, di sisi lain membawa dampak negatif bagi anak-anak Indonesia.  “Banyak sekali tayangan-tayangan yang tidak mendidik kepada anak-anak kita.”  Karena itu ia selalu mendampingi dua anaknya ketika mereka menyaksikan tayangan televisi. Agar kesan-kesan buruk yang masuk ke pikiran anak-anaknya bisa segera dinetralisir secepatnya.

Menurutnya anak anak Indonesia kini terjajah dan terbelenggu oleh kesan-kesan yang kurang baik dari berbagai televisi. “Namun hal ini tidak bisa kita tolak, kehadiran teknologi merupakan sebuah keniscayaan, karena itu kita harus membentengi anak-anak kita dengan berbagai cara dari serangan informasi yang menyesatkan itu.”


Sebagai salah seorang penyandang gelar juara guru teladan tingkat nasional, Safuroh merasa tertantang untuk selalu berbuat dan memberikan yang terbaik untuk suami, keluarga, murid-murid di sekolah dan masyarakat. Semboyan hidupnya : “Jadikanlah hidup ini seperti lilin, rela berkorban demi kebahagiaan orang lain”. Safuroh menikah dengan Drs Wiyono, MSi  yang juga Guru PAI di Wonogiri dan memiliki dua orang anak yaitu Muhammad Zulfa Al Faruqy  dan Maulida Abdillah Al Faruqi
  
.

KELUARGA SUMBER KEKUATAN



Prof. Ir. WIDODO M.Sc, Ph. D
(Guru Besar UII Yogyakarta)

“Guru Besar adalah jabatan akademik keduniaan yang diinginkan oleh banyak orang. Tapi Guru Besar bukanlah segalanya.Bukankah orang-orang yang paling beruntung adalah orang yang paling bertaqwa kepada Allah?”  Adalah ungkapan dari seorang Prof. Widodo di hadapan Sidang Senat Terbuka Universitas Islam Indonesia  Yogyakarta pada tanggal 18 Oktober 2003. Pak Widodo adalah Guru Besar pertama di Fakultas Teknik Sipil  dan Perencanaan UII. Bidangnyapun amat langka, yaitu gempa bumi. Dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional, Prof Widodo itu termasuk Guru Besar untuk mata kuliah Mekanika Tenik FTSP UII. Judul pidatonya adalah “Rekayasa Bangunan Sipil di Daerah Rawan Gempa; Sumbangan Terhadap Kemanusiaan. Beliau adalah Guru Besar ketiga di lingkungan kampus UII Yogyakarta, universitas Islam tertua di Indonesia.
Apa kunci sukses Pak Widodo meraih jabatan tertinggi bagi dosen perguruan tinggi itu? Keluarga, yaitu orang tua yang turut membesarkannya, istri dan anak-anak yang turut serta mengantarkannya meraih sukses.
Orang tua Pak Widodo adalah seorang petani sederhana dan taat beribadah. Berasal dari desa Karangasem, Tanon, Sragen Jawa Tengah. Ayahnya Kamin Pawirodikromo dan ibunya Tugiyem, “Beliaulah yang menanamkan kasih sayang kepada kami,” aku Pak Wid. Sebagai petani beliau mendidik dan memberikan contoh, memberikan petunjuk dan mendorong untuk belajar. Juga berkorban apa saja  dan selalu mendoakan  semua  putra-putrinya untuk meraih yang dicita-citakan.
Pendidikan Pak Wid tergolong lancar dan bahkan cepat. Setelah menamatkan Sekolah Rakyat Negeri di Karangasem, Tanon Sragen tahun 1965, kemudian hijrah ke kota ke Sekolah Teknik Negeri I Purwonegaran, Surakarta dan Sekolah Teknik Menengah Ganeca Surakarta. Lulus tahun 1971, ia mengambil kuliah Jurusan Teknik Sipil UII. Sejak sarjana tahun 1980, Pak Widodo diangkat menjadi dosen tetap di FSTSP-UII, yang diangkat oleh Badan Wakaf UII.
Tahun 1987 ia lulus dari studi Master of Science teknik sipil di College Engineering University of Philiphinnes. Selanjutnya di tahun 1992 memperdalam ilmu gempa di University  of Canterburchy di New Zeland dan lulus tahun 1995. “Layanan Engineering Librarian dan Laboratory Staff sangat familier tetap terkenang sampai sekarang. Gaya membimbing dosen yang dekat, akrab, hangat dan ceria sangat memperlancar proses studi hingga lulus tepat waktu. Suatu pengalaman yang berharga. Model pembimbing seperti itu perlu ditiru dan diterapkan di UII.”
Mengenai orang tuanya, ada wasiat yang cukup bagus. Khusyu’lah shalat, rukunlah di antara saudara dan rukunlah dalam kehidupan bermasyarakat. Keduanya telah almarhum dan telah tidak sempat menyaksikan putranya menjadi Guru Besar. Semua atas jasa beliau yang selalu mendoakan terutama sehabis shalat.
Keluarga sendiri juga menjadi sumber kekuatan, istrinya tercinta Ninik Sunartiningsih dan tiga anak titipan Allah yang disebutnya S3 tetap ‘sabar, setia dan selalu menjadi sumber kekuatan. Ayah dari Titang Danar Raharjo, Stevan Chondro Suryono dan Sierra Elafansa Ratnasari itu merasakan kekuatan tambahan dengan adanya keluarga. “Baik itu susah, terutama selama ditinggal saat studi lanjut di luar negeri, maupun di kala senang yaitu ketika keluarga berkumpul, sehat walafiat. Sampai pengukuhan guru besar” kata Pak Wid.
Selama 23 tahun berkarier di Perguruan Tinggi besar Islam tertua, beliau selalu mengajar, meneliti dan mengabdi pada masyarakat. Ia merintis pusat studi gempa dengan nama Center  for Earthquake Engineering, Dynamic Effects and Disaster Studies (CEEDEDS). Pusat studi di FTSP UII ini telah mendapatkan bantuan dari pemerintah Jepang dan dalam waktu dekat akan memulai penyuluhan dan pelatihan kepada masyarakat tentang pengetahuan praktis kegempaan. ‘Mengembangkan ilmu itu wajib hukumnya. Ilmu yang diajarkan hendaknya dapat dipakai di masyarakat. Bila demikian UII akan menghasilkan orang orang survive, berperan dan bermafaat untuk masyarakat dan alam sekitar” pesan Pak Wid.


BERBAKTI KEPADA ORANG TUA


KESEMPATAN MUNGKIN HANYA DATANG SATU KALI


MEMBANGUN ITU SEPERTI MENANAM POHON 

PARA PEMIMPIN  


 
**** Sumber:  Qurratua’yun , Edisi 6 November/Desember 2003

 
 






BIAYA KULIAH JUAL KAMBING


Drs. H Jamun, MPd.I
 (Kabid Mapenda Kanwil Kemenag Provinsi Jawa Tengah)

Jamun memang benar-benar anak desa. Ia dilahirkan di desa Purwodadi, Kecamatan Patimuan, Kabupaten Cilacap. Dia adalah anak keempat dari lima bersaudara yang lahir dari pasangan Sansuwardi dan Jayem pada tanggal 4 Januari 1962. Keempat saudaranya yang lain tinggal  di desa, jadi petani dan wiraswasta. Tahun 1977 Jamun menamatkan pendidikan SD di desanya.
Berkaca pada kehidupan di desa yang umumnya bertani, buruh dan tukang deres kelapa, Jamun kecil sudah mikir rasanya tidak bisa hidup seperti itu. Karenanya diam-diam dia menyimpan tekad untuk bisa sekolah setinggi mungkin. Tapi cita-cita itu terhalang oleh sikap tradisional orang tua yang ingin agar Jamun belajar mengaji saja tidak usah sekolah. Jamun tidak membantah dhawuh dari orang tua yang paling dihormati itu. Tapi batinnya bergolak sembari ngotak-atik,  cara agar ibu tidak marah bila pamit mau meneruskan ngaji di pesantren. Benar juga, biar awalnya sempat kaget tapi akhirnya ibu mengijinkan pergi ke PP Raudhorut Tholibin di desa Sirau, Kemrajen, Kab Banyumas. “Kalau ngaji saja disini kan bisa nak, tidak jauh-jauh,” kata ibunya. Yang dijawab Jamun, ya kalau disini saja nantinya sih tidak melanjutkan dan lagi di pesantren ngajinya lebih maju.
Kenapa Jamun memilih pesantren di Sirau yang jaraknya 150 km dari desanya? Dia mendapat kabar bahwa pesantren Raudhotut Tholibin Sirau yang diasuh KH Ubaidi Usman santri tidak hanya belajar ngaji saja tapi bisa masuk sekolah atau madrasah. Sebab pesantren itu juga memiliki lembaga pendidikan formal dari MI, MTs dan MA, maka dia langsung masuk Tsanawiyah. Selang tiga tahun di MTs, Jamun melanjutkan  ke Aliyah. Beruntung sejak masuk di pondok pesantren, dia diterima khidmah  dalam keluarga Kyai. Itu berarti  dia menjadi santri gratisan yang tidak perlu repot dalam urusan makan dan akomodasi. Di pesantren lain status santri yang bebas uang syariyah seperti itu biasanya disebut sebagai santri bilaa syartin.
Lalu bagaimana bayar SPP? Keberuntungan berpihak pada Jamun sebab selama belajar di MTs hingga MA selalu bebas SPP karena meraih ranking pertama. Bahkan ada hadiah buku-buku pelajaran. Kiriman ibu tiap bulan ditabung. Hebat! Biasanya anak seusia dia jika pegang uang akan dipakai suka-suka, tapi tidak untuk Jamun. Dia mulai berpikir keras agar kelak bisa melanjutkan kuliah tanpa membebani orang tuanya. Ini menarik sebab ternyata dia seorang anak yang tergolong cerdik, tekun, disiplin plus banyak akal. Tabungan diambil dan dibelikan 4 ekor ayam babon, dititipkan tetangga sekitar pesantren dengan sistem bagi hasil. Dalam beberapa waktu, ayam itu telah berkembang menjadi 27 ekor babon. Selama kuliah Jamun juga bebas karena bantuan Supersemar. Beasiswa Rp 30.000/ bulan padahal bayar kuliah 1 semester hanya Rp 27.000,- saja.
Sebegitu jauh orang tua tidak tahu kalau anaknya yang nyantri  di pondok pesantren Sirau itu sambil sekolah. Maka betapa kagetnya sang Ibu ketika tahu kalau anaknya yang ngaji juga menjadi murid madrasah. Nampak perasaan ibu campur bawur antara kaget, heran dan bangga. Apa komentarnya? Dia bergumam, “Lha njur beayane sekolah keprimen, wong inyong ngirimi aben wulan ya mung semending”.  Lalu soal biaya bulanan bagaimana, sebab kiriman dari ibu tiap bulan kan hanya sedikit. Agar ibu tak berkepanjangan memikir, Jamun yang kini sudah semakin dewasa segera menenangkan ibunya,” Itulah sebabnya bu, saya selalu hidup prihatin di pesantren, yang kami mohon hanyalah doa ibu agar saya selalu diberikan kekuatan lahir batin oleh Allah SWT sehingga ananda berhasil meraih cita-cita.
Saat mulai belajar di Madrasah Aliyah sebagian ayam bagi hasil dijual dan dibelikan 4 ekor kambing. Seperti halnya ayam, pemeliharaan kambing itu juga dititipkan warga di sekitar pesantren dengan sistem gaduh. Lulus dari Aliyah tahun 1984, dia langsung mendaftarkan kuliah di Fakultas Syariah IAIN Sunan Gunung Jati, di Bandung. Dia  sudah tidak bingung lagi soal biaya karena ditopang dari uang hasil penjualan kambing dan ayam. Semua berjalan mulus bahkan program Sarjana ditempuh dalam waktu 4 tahun 2 bulan, tercepat dengan IP 3,00. Setelah jadi asisten dosen selama semester akhir. Dia menolak tawaran menjadi dosen karena harus pulang ke desa bantu istri ngurus tokonya.
Pada awalnya Jamun yang menikahi Zubadiayah, yang juga santriwati Pondok Pesantren Sirau masih konsisten dengan cita-citanya untuk bisa terus sekolah. Gantungkan cita-citamu di atas bintang Tsuroya! Begitu semboyan yang memotivasinya. Hingga saat itu dia sama sekali belum ingin menjadi PNS. Apalagi dirinya merasa tidak punya akses dan koneksi. Karena itu pikiran untuk menjadi birokrat dia lempar jauh-jauh, menurutnya itu keinginan yang mustahil. Minat untuk menjadi PNS makin menjauh ketika usaha tokonya yang dirintis di desa ternyata berkembang. Kecuali melayani sembako, juga meyediakan semua kebutuhan lain seperti pupuk urea, BBM, obras, mesin jahit dan lainnya.
Wajar jika tiap kulakan ke kota mesti pakai angkutan truk, saking banyaknya komoditas yang diangkut. Omsetnya usaha sudah mencapai Rp 350.000,- per hari. Ketika tengah menikmati derasnya rezeki Tuhan lewat wiraswasta, keluarga Jamun terusik oleh gunjingan orang. Begini kata mereka “Jamun, sekolah dhuwur-dhuwur  kok mung dodolan. Inyong sing ora sekolah sih teyeng.” Gunjingan itu didiamkan begitu saja toh nanti akan hilang sendiri. Tapi di telinga kaum ibu lain, suara itu bikin gerah dan jadi beban moral sebab menyangkut soal martabat. Apalagi kenyataan di desa saat itu status PNS, mantri guru punya status sosial tersendiri.
Untuk meredam gunjingan orang lain untuk sementara, Jamun melamar dan diterima jadi guru SMP Diponegoro Patimun. Diminta jadi kepala sekolah menolak, katanya bukan itu tujuannya. Honornya Rp 12.000,-  tiap bulan dibayar tiap satu semester. Seketika itu dia beli sepatu, baju seragam termasuk baju KORPRI yang biasa dipakai guru PNS tiap Senin dan tanggal 17. Trik ini berhasil. Ketika pulang  naik sepeda motor seragam KORPRI, orang orang bilang, nah sekarang Jamun sudah jadi mantri Guru. Biarpun begitu hatinya belum plong. Apalagi juga ada suara yang bilang Jamun kan belum jadi PNS kok pakai baju KORPRI. Kasus ini makin menekan tekadnya untuk bisa menjadi PNS betulan dan juga KORPRI sungguhan.
Tahun 1990 ada kabar penerimaan Capeg Depag, maka Jamun langsung mendaftarkan diri dan mengikuti testing di Semarang. Tanggal 1 Maret 1991 turun blesit CPNS dan ditugaskan di Staf Seksi Urais Kantor Depag Kabupaten Cilacap. Sejak saat itu Jamun kos di Cilacap, sementara istrinya tetap ngurus bisnis di desa. Baru beberapa waktu kemudian keluarga Jamun menetap di  Kota Cilacap. Bulan November 1992 mengikuti prajabatan sebagai syarat untuk diangkat sebagai PNS penuh pada tahun 1993. Enam tahun dia putar-putar beralih tugas di lingkungan Kantor Depag Cilacap. Saat menjabat sebagai Ka Subbag TU selama tiga tahun, dia mendapat SK sebagai pelaksana tugas dari dua jabatan sekaligus. Yaitu PLT Kasi Gara Haji dan Umrah, serta PLT Kepala Kandepag Kab. Cilacap.
Selang satu minggu dia bertugas sebagai PT kepala Kandepag Cilacap, dia harus pindah ke Banjarnegara sejak 8 Februari 2007 Jamun dilantik sebagai Kepala Kantor  Kabupaten. Hanya dua tahun memimpin Depag Banjarnegara, sebab sejak 1 Februari 2009 tenaganya dibutuhkan untuk jabatan yang sama di Kab Temanggung.
Ketika menduduki Kepala Kandepag Kab Temanggung lagi-lagi dia dipercaya sebagai PLT Ka Kandepag Kab Magelang yang koson karena pejabatnya pensiun. Sampai akhirnya jabatan itu harus ditinggalkan karena pada 11 November 2010 dia dilantik sebagai Kabid MAPENDA Islam.
Jamun memang tergolong aktivis, sejak di Sirau dia sudah menjadi Lurah Pondok disamping juga ketua IPNU, Ketua IKMA, dan Ketua PPRT. Di kampus IAIN SGD dia juga terpilih Ketua SEMA Fak Syariah dan Ketua PMII setempat. Selama dua tahun mondok di PP Al Jawami Ciulengsi Bandung, dia diangkat sebagai Lurah Pondok Pesantren. Di masyarakat dia pernah menjadi Ketua Ranting NU Patimuan dan terakhir sebagai Pengurus JPHI Kabupaten dan Wakil Ketua PCNU Cilacap.
Pengalaman organisasinya itu menyebabkan Jamun tidak kaget saat masuk di Kanwil Kemenag Jateng diberi tugas untuk menjadi ketua panitia HAB Depag ke 65 dan Tim Penanggulangan Bencana Alam Gunung Merapi. Sebagai Ketua Tim dia bersama rombongan datang ke Magelang, Boyolali dan Klaten untuk menyerahkan bantuan uang sebesar Rp 337,- juta yang berasal dari infag karyawan di lingkungan Kanwil Kemenag Jateng. Bantuan itu diberikan dengan besaran bervariasi untuk Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Klaten.
Dari perkawinan dengan Hj Zubaidiyah, SPd yang juga PNS sejak 1993, Jamun dikarunia 2 orang anak, yaitu Wida Nurul Azizah yang hampir wisuda di Fakultas Saintek UNI Yogyakarta dan Wiska Habiburrohman Efendi.


BERBAKTI KEPADA ORANG TUA


KESEMPATAN MUNGKIN HANYA DATANG SATU KALI


MEMBANGUN ITU SEPERTI MENANAM POHON 

PARA PEMIMPIN  


 
**** Sumber:  Majalah Rindang No 8  Edisi Maret 2011