Jumat, 13 September 2013

BIAYA KULIAH JUAL KAMBING


Drs. H Jamun, MPd.I
 (Kabid Mapenda Kanwil Kemenag Provinsi Jawa Tengah)

Jamun memang benar-benar anak desa. Ia dilahirkan di desa Purwodadi, Kecamatan Patimuan, Kabupaten Cilacap. Dia adalah anak keempat dari lima bersaudara yang lahir dari pasangan Sansuwardi dan Jayem pada tanggal 4 Januari 1962. Keempat saudaranya yang lain tinggal  di desa, jadi petani dan wiraswasta. Tahun 1977 Jamun menamatkan pendidikan SD di desanya.
Berkaca pada kehidupan di desa yang umumnya bertani, buruh dan tukang deres kelapa, Jamun kecil sudah mikir rasanya tidak bisa hidup seperti itu. Karenanya diam-diam dia menyimpan tekad untuk bisa sekolah setinggi mungkin. Tapi cita-cita itu terhalang oleh sikap tradisional orang tua yang ingin agar Jamun belajar mengaji saja tidak usah sekolah. Jamun tidak membantah dhawuh dari orang tua yang paling dihormati itu. Tapi batinnya bergolak sembari ngotak-atik,  cara agar ibu tidak marah bila pamit mau meneruskan ngaji di pesantren. Benar juga, biar awalnya sempat kaget tapi akhirnya ibu mengijinkan pergi ke PP Raudhorut Tholibin di desa Sirau, Kemrajen, Kab Banyumas. “Kalau ngaji saja disini kan bisa nak, tidak jauh-jauh,” kata ibunya. Yang dijawab Jamun, ya kalau disini saja nantinya sih tidak melanjutkan dan lagi di pesantren ngajinya lebih maju.
Kenapa Jamun memilih pesantren di Sirau yang jaraknya 150 km dari desanya? Dia mendapat kabar bahwa pesantren Raudhotut Tholibin Sirau yang diasuh KH Ubaidi Usman santri tidak hanya belajar ngaji saja tapi bisa masuk sekolah atau madrasah. Sebab pesantren itu juga memiliki lembaga pendidikan formal dari MI, MTs dan MA, maka dia langsung masuk Tsanawiyah. Selang tiga tahun di MTs, Jamun melanjutkan  ke Aliyah. Beruntung sejak masuk di pondok pesantren, dia diterima khidmah  dalam keluarga Kyai. Itu berarti  dia menjadi santri gratisan yang tidak perlu repot dalam urusan makan dan akomodasi. Di pesantren lain status santri yang bebas uang syariyah seperti itu biasanya disebut sebagai santri bilaa syartin.
Lalu bagaimana bayar SPP? Keberuntungan berpihak pada Jamun sebab selama belajar di MTs hingga MA selalu bebas SPP karena meraih ranking pertama. Bahkan ada hadiah buku-buku pelajaran. Kiriman ibu tiap bulan ditabung. Hebat! Biasanya anak seusia dia jika pegang uang akan dipakai suka-suka, tapi tidak untuk Jamun. Dia mulai berpikir keras agar kelak bisa melanjutkan kuliah tanpa membebani orang tuanya. Ini menarik sebab ternyata dia seorang anak yang tergolong cerdik, tekun, disiplin plus banyak akal. Tabungan diambil dan dibelikan 4 ekor ayam babon, dititipkan tetangga sekitar pesantren dengan sistem bagi hasil. Dalam beberapa waktu, ayam itu telah berkembang menjadi 27 ekor babon. Selama kuliah Jamun juga bebas karena bantuan Supersemar. Beasiswa Rp 30.000/ bulan padahal bayar kuliah 1 semester hanya Rp 27.000,- saja.
Sebegitu jauh orang tua tidak tahu kalau anaknya yang nyantri  di pondok pesantren Sirau itu sambil sekolah. Maka betapa kagetnya sang Ibu ketika tahu kalau anaknya yang ngaji juga menjadi murid madrasah. Nampak perasaan ibu campur bawur antara kaget, heran dan bangga. Apa komentarnya? Dia bergumam, “Lha njur beayane sekolah keprimen, wong inyong ngirimi aben wulan ya mung semending”.  Lalu soal biaya bulanan bagaimana, sebab kiriman dari ibu tiap bulan kan hanya sedikit. Agar ibu tak berkepanjangan memikir, Jamun yang kini sudah semakin dewasa segera menenangkan ibunya,” Itulah sebabnya bu, saya selalu hidup prihatin di pesantren, yang kami mohon hanyalah doa ibu agar saya selalu diberikan kekuatan lahir batin oleh Allah SWT sehingga ananda berhasil meraih cita-cita.
Saat mulai belajar di Madrasah Aliyah sebagian ayam bagi hasil dijual dan dibelikan 4 ekor kambing. Seperti halnya ayam, pemeliharaan kambing itu juga dititipkan warga di sekitar pesantren dengan sistem gaduh. Lulus dari Aliyah tahun 1984, dia langsung mendaftarkan kuliah di Fakultas Syariah IAIN Sunan Gunung Jati, di Bandung. Dia  sudah tidak bingung lagi soal biaya karena ditopang dari uang hasil penjualan kambing dan ayam. Semua berjalan mulus bahkan program Sarjana ditempuh dalam waktu 4 tahun 2 bulan, tercepat dengan IP 3,00. Setelah jadi asisten dosen selama semester akhir. Dia menolak tawaran menjadi dosen karena harus pulang ke desa bantu istri ngurus tokonya.
Pada awalnya Jamun yang menikahi Zubadiayah, yang juga santriwati Pondok Pesantren Sirau masih konsisten dengan cita-citanya untuk bisa terus sekolah. Gantungkan cita-citamu di atas bintang Tsuroya! Begitu semboyan yang memotivasinya. Hingga saat itu dia sama sekali belum ingin menjadi PNS. Apalagi dirinya merasa tidak punya akses dan koneksi. Karena itu pikiran untuk menjadi birokrat dia lempar jauh-jauh, menurutnya itu keinginan yang mustahil. Minat untuk menjadi PNS makin menjauh ketika usaha tokonya yang dirintis di desa ternyata berkembang. Kecuali melayani sembako, juga meyediakan semua kebutuhan lain seperti pupuk urea, BBM, obras, mesin jahit dan lainnya.
Wajar jika tiap kulakan ke kota mesti pakai angkutan truk, saking banyaknya komoditas yang diangkut. Omsetnya usaha sudah mencapai Rp 350.000,- per hari. Ketika tengah menikmati derasnya rezeki Tuhan lewat wiraswasta, keluarga Jamun terusik oleh gunjingan orang. Begini kata mereka “Jamun, sekolah dhuwur-dhuwur  kok mung dodolan. Inyong sing ora sekolah sih teyeng.” Gunjingan itu didiamkan begitu saja toh nanti akan hilang sendiri. Tapi di telinga kaum ibu lain, suara itu bikin gerah dan jadi beban moral sebab menyangkut soal martabat. Apalagi kenyataan di desa saat itu status PNS, mantri guru punya status sosial tersendiri.
Untuk meredam gunjingan orang lain untuk sementara, Jamun melamar dan diterima jadi guru SMP Diponegoro Patimun. Diminta jadi kepala sekolah menolak, katanya bukan itu tujuannya. Honornya Rp 12.000,-  tiap bulan dibayar tiap satu semester. Seketika itu dia beli sepatu, baju seragam termasuk baju KORPRI yang biasa dipakai guru PNS tiap Senin dan tanggal 17. Trik ini berhasil. Ketika pulang  naik sepeda motor seragam KORPRI, orang orang bilang, nah sekarang Jamun sudah jadi mantri Guru. Biarpun begitu hatinya belum plong. Apalagi juga ada suara yang bilang Jamun kan belum jadi PNS kok pakai baju KORPRI. Kasus ini makin menekan tekadnya untuk bisa menjadi PNS betulan dan juga KORPRI sungguhan.
Tahun 1990 ada kabar penerimaan Capeg Depag, maka Jamun langsung mendaftarkan diri dan mengikuti testing di Semarang. Tanggal 1 Maret 1991 turun blesit CPNS dan ditugaskan di Staf Seksi Urais Kantor Depag Kabupaten Cilacap. Sejak saat itu Jamun kos di Cilacap, sementara istrinya tetap ngurus bisnis di desa. Baru beberapa waktu kemudian keluarga Jamun menetap di  Kota Cilacap. Bulan November 1992 mengikuti prajabatan sebagai syarat untuk diangkat sebagai PNS penuh pada tahun 1993. Enam tahun dia putar-putar beralih tugas di lingkungan Kantor Depag Cilacap. Saat menjabat sebagai Ka Subbag TU selama tiga tahun, dia mendapat SK sebagai pelaksana tugas dari dua jabatan sekaligus. Yaitu PLT Kasi Gara Haji dan Umrah, serta PLT Kepala Kandepag Kab. Cilacap.
Selang satu minggu dia bertugas sebagai PT kepala Kandepag Cilacap, dia harus pindah ke Banjarnegara sejak 8 Februari 2007 Jamun dilantik sebagai Kepala Kantor  Kabupaten. Hanya dua tahun memimpin Depag Banjarnegara, sebab sejak 1 Februari 2009 tenaganya dibutuhkan untuk jabatan yang sama di Kab Temanggung.
Ketika menduduki Kepala Kandepag Kab Temanggung lagi-lagi dia dipercaya sebagai PLT Ka Kandepag Kab Magelang yang koson karena pejabatnya pensiun. Sampai akhirnya jabatan itu harus ditinggalkan karena pada 11 November 2010 dia dilantik sebagai Kabid MAPENDA Islam.
Jamun memang tergolong aktivis, sejak di Sirau dia sudah menjadi Lurah Pondok disamping juga ketua IPNU, Ketua IKMA, dan Ketua PPRT. Di kampus IAIN SGD dia juga terpilih Ketua SEMA Fak Syariah dan Ketua PMII setempat. Selama dua tahun mondok di PP Al Jawami Ciulengsi Bandung, dia diangkat sebagai Lurah Pondok Pesantren. Di masyarakat dia pernah menjadi Ketua Ranting NU Patimuan dan terakhir sebagai Pengurus JPHI Kabupaten dan Wakil Ketua PCNU Cilacap.
Pengalaman organisasinya itu menyebabkan Jamun tidak kaget saat masuk di Kanwil Kemenag Jateng diberi tugas untuk menjadi ketua panitia HAB Depag ke 65 dan Tim Penanggulangan Bencana Alam Gunung Merapi. Sebagai Ketua Tim dia bersama rombongan datang ke Magelang, Boyolali dan Klaten untuk menyerahkan bantuan uang sebesar Rp 337,- juta yang berasal dari infag karyawan di lingkungan Kanwil Kemenag Jateng. Bantuan itu diberikan dengan besaran bervariasi untuk Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Klaten.
Dari perkawinan dengan Hj Zubaidiyah, SPd yang juga PNS sejak 1993, Jamun dikarunia 2 orang anak, yaitu Wida Nurul Azizah yang hampir wisuda di Fakultas Saintek UNI Yogyakarta dan Wiska Habiburrohman Efendi.


BERBAKTI KEPADA ORANG TUA


KESEMPATAN MUNGKIN HANYA DATANG SATU KALI


MEMBANGUN ITU SEPERTI MENANAM POHON 

PARA PEMIMPIN  


 
**** Sumber:  Majalah Rindang No 8  Edisi Maret 2011

 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar