Jumat, 13 September 2013

MEMBANGUN ITU SEPERTI MENANAM POHON


Ir. Imam Sardjono, MM
 (Asisten Deputi Urusan Wilayah Tertinggal –Kementerian Negara Desa Tertinggal 2008-...)


Guru dan pejuang, paduan yang sempurna untuk menggambarkan pengabdian. Ajaran dari ayahnya, Doso Sarimin Martodiharjo, yang pengajar  dan mantan anggota tentara pelajar semasa perjuangan kemerdekaan, membuat Imam Sardjono tumbuh sebagai individu yang bersemangat dan idealis.

Imam adalah anak nomor dari tujuh bersaudara diantaranya meninggal dunia. Lahir pada tahun 1952 di Karanganyar, Kebumen, Jawa Tengah. Pada 1958 keluarganya boyongan ke Surabaya.

Ayahnya Doso Sarimin Martodiharjo pernah mengajar di SMP Negeri 3 Surabaya, SMA Wijaya Kusuma, bahkan dosen matematika di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) dan IKIP Surabaya. “Dari kecil saya suka permainan yang berbau prakarya, membuat sesuatu seperti mobil-mobilan,” kata Imam.

Itulah sebabnya, dia tertarik untuk belajar Arsitektur ITS Surabaya, pada tahun 1972. Baru pada 1981 Imam diwisuda sebagai insinyur. Selama kuliah Imam sangat terkenal. Tim sepakbola Arsitektur sangat disegani kawan maupun lawan bertanding gara-gara sepak terjang Imam. “Sepakbola Arsitek itu ya Imam. Kalau Imam sampai lolos ya langsung gol,” ucapnya bangga.

Rupanya ada cerita tersendiri mengapa Imam begitu kerasan kuliah di ITS. Imam nyambi bekerja ketika masih kuliah. Maklum sebagai guru tentu orang tuanya tidak berlimpah materi. Setelah lulus sarjana muda, Imam bekerja di perusahaan konsultan. Pernah juga bekerja di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Surabaya dan membantu dosen-dosennya yang menggarap proyek.

Dia menjadi memiliki uang sendiri untuk keluarga dan dirinya, hingga lupa untuk meneruskan meraih gelar sarjana. Sampai sampai ia diperingatkan kampus, apakah masih ingin meneruskan kuliah. Akhirnya, Imam memilih meneruskan kuliah. “Begitu masuk lagi saya berhasil menerima beasiswa dari Yayasan Supersemar”, katanya.

Selesai kuliah program S1, pada 1981 Imam dipanggil oleh Markas Besar Tentara Nasional Indonesia untuk wajib militer selama dua tahun. Darah militer dari sang ayah sangat berpengaruh pada diri Imam sehingga dia menerima panggilan wajib militer.

Pada tahun 1981 Imam ditugaskan di Direktorat Zeni TNI Angkatan Darat di Jakarta. Dia terlibat perencanaan dan pembangunan instalasi dan infrastruktur militer. Pekerjaannya mulai perencanaan, standarisasi sampai operasional. Menurut dia, kerja konstruksi di militer tergolong sederhana sebab semua sudah ada standarnya, tinggal mengikuti standarnya saja. Kiprahnya di militer juga membawanya terlibat dalam proyek pembangunan Keraton Solo setelah kebakaran 1985-1987.

Setelah masa wajib militer selesai, Imam memasuki program militer sukarela. Tekadnya sudah bulat untuk berkiprah di kemiliteran. Godaan selalu ada untuk memupuskan niatnya menjadi tentara. Pada 1985, Imam ditawari menjadi pegawai negeri sipil di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. “Namun tidak pernah diijinkan oleh atasan,” ujarnya. Penolakan itu menunjukkan bahwa Imam dibutuhkan TNI AD. “Kemudian saya memutuskan menjadi perwira karier,” ujarnya.

Selama bertugas di ketentaraan Imam lebih banyak melakukan perencanaan dan pengawasan. Dia menilai tantangan selama bekerja sebagai hal biasa. Keberhasilan dalam tugas dilihatnya sebagai kejadian biasa. Justru kegagalan dalam tugas yang membuat luar biasa.

Sebagaimana lazimnya militer menuntut kedisiplinan. Sebagai anak seorang guru, Imam terbiasa hidup disiplin. Maka, ketika dia berkarya di militer, kedisiplinan bukan menjadi sesuatu yang aneh.

Karier Imam tidak lepas dari pengaruh keluarganya. “Kakek saya selalu mengatakan, kalau kerja jangan ngawor tapi ojo kawor. Artinya kita jangan sampai terbawa pengaruh orang lain yang kurang baik,” katanya.

Imam meletakkan bantuan untuk orang lain sebagai sesuatu yang sangat penting. Dia merasa menjadi berguna bila bisa mencarikan solusi bagi persoalan orang lain. Dia mencontohkan ketika bersama timnya merenovasi Keraton Solo. Menurut dia, tantangan dalam mengerjakan proyek itu adalah keharusan mengakomodasi keyakinan kejawen dan Islam dalam prosesnya. Akomodasi itulah yang memunculkan sedikit kesulitan.

Imam juga terlibat dalam pembangunan sarana dan prasarana milik Komando Daerah Militer (Kodam) IV Diponegoro. Dia merencanakan pembangunan Markas Kodam IV Semarang. Lapangan tembak TNI AD di Baturaja juga tidak luput dari sentuhannya. “Pelaksana bisa saja kontraktor, tapi untuk bangunan dengan kerahasiaan tinggi tetap swakelola,” ujarnya.

Karier yang mencorong tidak membuat Imam cepat bangga. Dia terus berupaya mengoptimalkan kemampuannya. Maka, diapun melanjutkan S2 bidang manajemen di sebuah perguruan tinggi swasta.

Pada 2007, Imam mengakhiri tugasnya di militer. Dia lalu meneruskan kiprahnya dibidang sipil. Hingga pada tahun 2009 dia masih menunggu proses peralihan itu sesuai dengan undang-undang. “Belum selesai prosesnya,” kata Imam. Dia sejak awal 2008 menjadi Deputi Urusan Wilayah Perbatasan Departemen Pertahanan.

Banyak yang bisa diperlajarinya dari wilayah perbatasan. Imam yakin bahwa persoalan-persoalan muncul lantaran kesejahteraan yang kurang. Penanganan perbatasan yang tidak tuntas juga ikut memperberat persoalan. Muncullah perasaan tidak diurus pemerintah. Alhasil, mencuat perasaan tidak puas terhadap pemerintah.

Imam mencontohkan, di perbatasan Kalimantan begitu menjanjikan bagi warga Negara Indonesia jika ingin bekerja di Negara lain. Sulit menolak jika ada tawaran bekerja dan menjadi warga Negara tetangga. Akhirnya mereka menerima asalkan dengan prosedur yang benar.

Imam menyaksikan di daerah tertinggal biaya hidup begitu tinggi sementara pendapatan rendah. Pelayanan pendidikan dan kesehatan kurang, dibawah standar nasional. “Mestinya lembaga-lembaga Negara dan swasta berpihak pada daerah miskin dan tertinggal,”  ujarnya.

Daerah tertinggal sebenarnya bukan hanya monopoli daerah luar Jawa. Daerah Gunung Kidul di Dareah Istimewa Yogyakarta juga masih kurang kesejahteraannya. Masalah utamanya  adalah ketidakmampuan mengelola sumber daya alam.

Dia ingin para sarjana baru tidak hanya berpikir untuk mencari pekerjaan dengan gaji tinggi. Mereka semestinya memikirkan bagaimana kembali kepada masyarakat di daerah setelah memperoleh gelar. Karena itu, Imam juga menginginkan para mahasiswa melakukan kuliah kerja nyata (KKN) di daerah tertinggal.

Imam pernah bekerja sama dengan perguruan tinggi di Kalimantan Barat, Pontianak, yakni Universitas Tanjung Pura. “Saya merintis lahan kering dan tak digunakan disana. Tujuan akhir saya adalah daerah yang bisa dimanfaatkan untuk perkebunan,” ucapnya.

Imam juga bekerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk sertifikasi tanah masyarakat dengan biaya murah atau yang disebut sebagai Program Nasional untuk Sertifikasi Tanah.

Kerja sama juga sudah dilakukan dengan ITS, Universitas Pembangunan Nasioanal (UPN), Universitas Barawijaya Malang (Unibraw), IAIN, Universitas Gadjah Mada serta Institut Teknologi Bandung.

Imam berkeinginan pemerintah mensponsori pabrik di daerah tertinggal. Pabrik mampu menyerap banyak tenaga kerja. Warga daerah tertinggal bisa dipekerjakan  sehingga kesejahteraan mereka meningkat.

Imam menyadari pada masa lalu semua aspek kehidupan  terpusat. Daerah tidak memiliki kewenangan. Namun kini pemerintah daerah bisa berkiprah banyak. Lulusan perguruan tinggi dan orang-orang pandai di daerah juga bisa dikerahkan agar bisa terjadi transfer pengetahuan.

Imam menceritakan bagaimana masyarakat Papua sering bermasalah dengan lahan dan sensitive. Investor di perbatasan Papua akan mengalami kesulitan ketika membutuhkan lahan untuk membuka usaha. Cara jitu untuk mendekati warga setempat adalah melalui budaya.

Tidak semua daerah di Papua masih terbelakang. Merauke dan Jayapura sudah lebih maju meski hanya beberapa pesawat  yang bisa mendarat. Yang kurang digarap adalah Nabire. tansportasi  di daerah ini sudah tersedia tapi belum sepenuhnya lancar.

Ada juga daerah tertinggal di Nanggroe Aceh Darussalam, Sambas, dan Sintang di Kalimantan Barat. Di sana alat berat untuk proyek harus diangkut dengan holikopter dan mempekerjakan tenaga dari luar daerah. Sedangkan masalah sosial yang muncul adalah konflik diantara warga misalnya masalah warisan tanah ulayat.

Masih banyak  suku daerah tertinggal itu. Pendidikan mereka rendah, perekonomian juga rendah, begitu juga kesehatan. Yang sudah pernah membantu adalah lembaga swadaya masyarakat yang memasukkan dana dari luar, kemudian pemerintah didorong untuk mendanai.

Tapi pemerintah daerah mempunyai masalah keuangan karena pendapatan asli daerahnya (PAD) rendah. Pemerintah Daerah Kalimantan Timur memiliki pendapatan yang tinggi. Namun persoalannya adalah keberpihakan kepada masyarakat tertinggal.

“Kalau kita membangun seperti menanam pohon. Awalnya hanya menanam pohon lama-lama muncul  buah. Tidak bisa tiba-tiba muncul buah,” ujarnya. Yang penting adalah percepatan membangun daerah tertinggal.

Imam berpendapat untuk mengejar ketertinggalan resepnya adalah melakukan hal yang berguna bagi orang lain dan bekerja keras. Kalau bangsa Indonesia memiliki motivasi semacam itu dia yakin kondisi akan menjadi baik. Hal lain yang tidak kalah penting adalah kedisiplinan. Agama telah memerintahkan disiplin, misalnya beribadah pada waktu-waktu tertentu.

Untuk kemajuan ITS, Imam mengusulkan harus menciptakan teknologi terapan yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Setiap persoalan pasti ada solusinya. Apalagi alumni ITS sudah sekitar 60 ribu orang sehingga seharusnya bisa mengkonsolidasikan diri. Bagi alumni muda harus bisa berpikir obyektif dan berani menerima tantangan.


BERBAKTI KEPADA ORANG TUA


BERANILAH BERMIMPI DAN KEJARLAH MIMPI ITU

PARA PEMIMPIN





****
Ditulis ulang bersama :
ADULLAH NAAZHIMUL  HAQ – SDIT Hidayah Klaten –Kelas  5A
FATHINA DSATU IZZAH–SD Cendikia  Jogonalan Klaten- Kelas  1A

Dari buku, INSPIRING TO SUCCESS –Jejak Langkah 100 Alumni ITS
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar