Ir.
Imam Sardjono, MM
(Asisten Deputi Urusan Wilayah Tertinggal
–Kementerian Negara Desa Tertinggal 2008-...)
Guru dan
pejuang, paduan yang sempurna untuk menggambarkan pengabdian. Ajaran dari
ayahnya, Doso Sarimin Martodiharjo, yang pengajar dan mantan anggota tentara pelajar semasa
perjuangan kemerdekaan, membuat Imam Sardjono tumbuh sebagai individu yang
bersemangat dan idealis.
Imam
adalah anak nomor dari tujuh bersaudara diantaranya meninggal dunia. Lahir pada
tahun 1952 di Karanganyar, Kebumen, Jawa Tengah. Pada 1958 keluarganya boyongan
ke Surabaya.
Ayahnya
Doso Sarimin Martodiharjo pernah mengajar di SMP Negeri 3 Surabaya, SMA Wijaya
Kusuma, bahkan dosen matematika di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
dan IKIP Surabaya. “Dari kecil saya suka permainan yang berbau prakarya,
membuat sesuatu seperti mobil-mobilan,” kata Imam.
Itulah
sebabnya, dia tertarik untuk belajar Arsitektur ITS Surabaya, pada tahun 1972.
Baru pada 1981 Imam diwisuda sebagai insinyur. Selama kuliah Imam sangat
terkenal. Tim sepakbola Arsitektur sangat disegani kawan maupun lawan
bertanding gara-gara sepak terjang Imam. “Sepakbola Arsitek itu ya Imam. Kalau
Imam sampai lolos ya langsung gol,” ucapnya bangga.
Rupanya
ada cerita tersendiri mengapa Imam begitu kerasan kuliah di ITS. Imam nyambi
bekerja ketika masih kuliah. Maklum sebagai guru tentu orang tuanya tidak
berlimpah materi. Setelah lulus sarjana muda, Imam bekerja di perusahaan
konsultan. Pernah juga bekerja di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Surabaya
dan membantu dosen-dosennya yang menggarap proyek.
Dia
menjadi memiliki uang sendiri untuk keluarga dan dirinya, hingga lupa untuk
meneruskan meraih gelar sarjana. Sampai sampai ia diperingatkan kampus, apakah
masih ingin meneruskan kuliah. Akhirnya, Imam memilih meneruskan kuliah.
“Begitu masuk lagi saya berhasil menerima beasiswa dari Yayasan Supersemar”,
katanya.
Selesai
kuliah program S1, pada 1981 Imam dipanggil oleh Markas Besar Tentara Nasional
Indonesia untuk wajib militer selama dua tahun. Darah militer dari sang ayah
sangat berpengaruh pada diri Imam sehingga dia menerima panggilan wajib
militer.
Pada
tahun 1981 Imam ditugaskan di Direktorat Zeni TNI Angkatan Darat di Jakarta.
Dia terlibat perencanaan dan pembangunan instalasi dan infrastruktur militer.
Pekerjaannya mulai perencanaan, standarisasi sampai operasional. Menurut dia,
kerja konstruksi di militer tergolong sederhana sebab semua sudah ada
standarnya, tinggal mengikuti standarnya saja. Kiprahnya di militer juga
membawanya terlibat dalam proyek pembangunan Keraton Solo setelah kebakaran
1985-1987.
Setelah
masa wajib militer selesai, Imam memasuki program militer sukarela. Tekadnya sudah
bulat untuk berkiprah di kemiliteran. Godaan selalu ada untuk memupuskan
niatnya menjadi tentara. Pada 1985, Imam ditawari menjadi pegawai negeri sipil
di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. “Namun tidak pernah diijinkan oleh atasan,”
ujarnya. Penolakan itu menunjukkan bahwa Imam dibutuhkan TNI AD. “Kemudian saya
memutuskan menjadi perwira karier,” ujarnya.
Selama
bertugas di ketentaraan Imam lebih banyak melakukan perencanaan dan pengawasan.
Dia menilai tantangan selama bekerja sebagai hal biasa. Keberhasilan dalam
tugas dilihatnya sebagai kejadian biasa. Justru kegagalan dalam tugas yang
membuat luar biasa.
Sebagaimana
lazimnya militer menuntut kedisiplinan. Sebagai anak seorang guru, Imam
terbiasa hidup disiplin. Maka, ketika dia berkarya di militer, kedisiplinan
bukan menjadi sesuatu yang aneh.
Karier
Imam tidak lepas dari pengaruh keluarganya. “Kakek saya selalu mengatakan,
kalau kerja jangan ngawor tapi ojo kawor. Artinya kita jangan sampai terbawa
pengaruh orang lain yang kurang baik,” katanya.
Imam
meletakkan bantuan untuk orang lain sebagai sesuatu yang sangat penting. Dia
merasa menjadi berguna bila bisa mencarikan solusi bagi persoalan orang lain.
Dia mencontohkan ketika bersama timnya merenovasi Keraton Solo. Menurut dia,
tantangan dalam mengerjakan proyek itu adalah keharusan mengakomodasi keyakinan
kejawen dan Islam dalam prosesnya. Akomodasi itulah yang memunculkan sedikit
kesulitan.
Imam
juga terlibat dalam pembangunan sarana dan prasarana milik Komando Daerah
Militer (Kodam) IV Diponegoro. Dia merencanakan pembangunan Markas Kodam IV
Semarang. Lapangan tembak TNI AD di Baturaja juga tidak luput dari sentuhannya. “Pelaksana bisa saja
kontraktor, tapi untuk bangunan dengan kerahasiaan tinggi tetap swakelola,”
ujarnya.
Karier
yang mencorong tidak membuat Imam cepat bangga. Dia terus berupaya
mengoptimalkan kemampuannya. Maka, diapun melanjutkan S2 bidang manajemen di
sebuah perguruan tinggi swasta.
Pada
2007, Imam mengakhiri tugasnya di militer. Dia lalu meneruskan kiprahnya
dibidang sipil. Hingga pada tahun 2009 dia masih menunggu proses peralihan itu
sesuai dengan undang-undang. “Belum selesai prosesnya,” kata Imam. Dia sejak
awal 2008 menjadi Deputi Urusan Wilayah Perbatasan Departemen Pertahanan.
Banyak
yang bisa diperlajarinya dari wilayah perbatasan. Imam yakin bahwa
persoalan-persoalan muncul lantaran kesejahteraan yang kurang. Penanganan
perbatasan yang tidak tuntas juga ikut memperberat persoalan. Muncullah
perasaan tidak diurus pemerintah. Alhasil, mencuat perasaan tidak puas terhadap
pemerintah.
Imam
mencontohkan, di perbatasan Kalimantan begitu menjanjikan bagi warga Negara
Indonesia jika ingin bekerja di Negara lain. Sulit menolak jika ada tawaran
bekerja dan menjadi warga Negara tetangga. Akhirnya mereka menerima asalkan
dengan prosedur yang benar.
Imam
menyaksikan di daerah tertinggal biaya hidup begitu tinggi sementara pendapatan
rendah. Pelayanan pendidikan dan kesehatan kurang, dibawah standar nasional.
“Mestinya lembaga-lembaga Negara dan swasta berpihak pada daerah miskin dan
tertinggal,” ujarnya.
Daerah
tertinggal sebenarnya bukan hanya monopoli daerah luar Jawa. Daerah Gunung
Kidul di Dareah Istimewa Yogyakarta juga masih kurang kesejahteraannya. Masalah
utamanya adalah ketidakmampuan mengelola
sumber daya alam.
Dia ingin para sarjana
baru tidak hanya berpikir untuk mencari pekerjaan dengan gaji tinggi. Mereka
semestinya memikirkan bagaimana kembali kepada masyarakat di daerah setelah
memperoleh gelar. Karena itu, Imam juga menginginkan para mahasiswa melakukan
kuliah kerja nyata (KKN) di daerah tertinggal.
Imam
pernah bekerja sama dengan perguruan tinggi di Kalimantan Barat, Pontianak,
yakni Universitas Tanjung Pura. “Saya merintis lahan kering dan tak digunakan
disana. Tujuan akhir saya adalah daerah yang bisa dimanfaatkan untuk
perkebunan,” ucapnya.
Imam
juga bekerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk sertifikasi
tanah masyarakat dengan biaya murah atau yang disebut sebagai Program Nasional
untuk Sertifikasi Tanah.
Kerja
sama juga sudah dilakukan dengan ITS, Universitas Pembangunan Nasioanal (UPN),
Universitas Barawijaya Malang (Unibraw), IAIN, Universitas Gadjah Mada serta
Institut Teknologi Bandung.
Imam
berkeinginan pemerintah mensponsori pabrik di daerah tertinggal. Pabrik mampu
menyerap banyak tenaga kerja. Warga daerah tertinggal bisa dipekerjakan sehingga kesejahteraan mereka meningkat.
Imam
menyadari pada masa lalu semua aspek kehidupan
terpusat. Daerah tidak memiliki kewenangan. Namun kini pemerintah daerah
bisa berkiprah banyak. Lulusan perguruan tinggi dan orang-orang pandai di
daerah juga bisa dikerahkan agar bisa terjadi transfer pengetahuan.
Imam
menceritakan bagaimana masyarakat Papua sering bermasalah dengan lahan dan
sensitive. Investor di perbatasan Papua akan mengalami kesulitan ketika membutuhkan
lahan untuk membuka usaha. Cara jitu untuk mendekati warga setempat adalah
melalui budaya.
Tidak
semua daerah di Papua masih terbelakang. Merauke dan Jayapura sudah lebih maju
meski hanya beberapa pesawat yang bisa
mendarat. Yang kurang digarap adalah Nabire. tansportasi di daerah ini sudah tersedia tapi belum
sepenuhnya lancar.
Ada juga
daerah tertinggal di Nanggroe Aceh Darussalam, Sambas, dan Sintang di
Kalimantan Barat. Di sana alat berat untuk proyek harus diangkut dengan
holikopter dan mempekerjakan tenaga dari luar daerah. Sedangkan masalah sosial
yang muncul adalah konflik diantara warga misalnya masalah warisan tanah
ulayat.
Masih
banyak suku daerah tertinggal itu.
Pendidikan mereka rendah, perekonomian juga rendah, begitu juga kesehatan. Yang
sudah pernah membantu adalah lembaga swadaya masyarakat yang memasukkan dana
dari luar, kemudian pemerintah didorong untuk mendanai.
Tapi
pemerintah daerah mempunyai masalah keuangan karena pendapatan asli daerahnya
(PAD) rendah. Pemerintah Daerah Kalimantan Timur memiliki pendapatan yang
tinggi. Namun persoalannya adalah keberpihakan kepada masyarakat tertinggal.
“Kalau kita membangun seperti menanam pohon. Awalnya hanya
menanam pohon lama-lama muncul buah.
Tidak bisa tiba-tiba muncul buah,” ujarnya. Yang penting adalah
percepatan membangun daerah tertinggal.
Imam
berpendapat untuk mengejar ketertinggalan resepnya adalah melakukan hal yang
berguna bagi orang lain dan bekerja keras. Kalau bangsa Indonesia memiliki motivasi
semacam itu dia yakin kondisi akan menjadi baik. Hal lain yang tidak kalah
penting adalah kedisiplinan. Agama telah memerintahkan disiplin, misalnya
beribadah pada waktu-waktu tertentu.
Untuk
kemajuan ITS, Imam mengusulkan harus menciptakan teknologi terapan yang bisa
dimanfaatkan oleh masyarakat. Setiap persoalan pasti ada solusinya. Apalagi
alumni ITS sudah sekitar 60 ribu orang sehingga seharusnya bisa mengkonsolidasikan
diri. Bagi alumni muda harus bisa berpikir obyektif dan berani menerima
tantangan.
BERBAKTI KEPADA ORANG TUA BERANILAH BERMIMPI DAN KEJARLAH MIMPI ITU PARA PEMIMPIN |
||
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar