Jumat, 13 September 2013

BERTERIMAKASIHLAH KEPADA SEMUA ORANG



Ir. Djuwono Hadi Santoso,MSi
(Kepala Bappeda Kabupaten Bondowoso, 2009-)

Sebagaimana mantan aktivis kampus Lainnya Djuwono merasakan benar manfaat dari keterlibatannya dalam pergerakan mahasiswa selain keberanian menghadapi tantangan, kemampuan komunikasi publik dan lobi lobi  terasah dan menjadi modal berharga dalam meniti karirnya.
Lahir di surabaya, 27 september 1957, Djuwono dibesarkan dalam keluarga yang sederhana. Ayahnya, Slamet Imam Santoso, adalah seorang purnawirawan TNI AL. Ibunya, almarhumah Hj. Nanik Tuminah adalah wanita yang ulet dan sanggat disiplin dalam mendidik anak, yang rela menjual apa apa yang di miliki untuk membiayai anak-anaknya. Karena kehidupan keluarganya pas pasan, semasa SD sampai SMP, Djuwono rela berjualan koran di stasiun Gubeng Surabaya. Semasa SMA, untuk terus meringankan beban orang tua, dia membuat dan menjual layang- layang. 
Diterima di Fakultas Teknik Sipil ITS tahun 1976 Djuwono lebih sering tinggal dan tidur di kampus ITS Manyar. Kampus penuh dengan kenangan. Sebagai aktivis, keterlibatannya dalam pergerakan mahasiswa kala itu sering kali membawanya berurusan dengan Poltabes Surabaya dan Kodam VIII Brawijaya.
Ada kisah menarik dia ceritakan. Di  depan kampus ITS Manyar, ada rumah sakit jiwa dan seringkali beberapa pasien lepas berkeliaran di depan kampus. Tidak peduli laki atau perempuan, Djuwono menangkap mereka dan menggiring balik ke rumah sakit. Karena begitu seringnya, sehingga dia jadi akrab dengan pegawai rumah sakit. Di rumah sakit itu, dia belajar bagaimana mendeteksi tingkat kesehatan pasien.
Suatu ketika, saat ngobrol di kampus, almarhum Pak Santo yang kala itu menjabat PR III, mengkomentari Djuwono sebagai “Dokter Gendeng”. Mereka terusik, Djuwono pun menjelaskan pengalamannya dengan penuh semangat. “Ini serius,” kata Djuwono “untuk mendeteksi tingkat kesehatan pasien. Bila disodorkan buah mangga, pasien menjawab jeruk--- maka itu berat dan dosis obatnya perlu ditambah. Kalau disodorkan buah jeruk, pasien menjawab jeruk---dosis obatnya dikurangi. Jadi semakin sulit pertanyaan dan makin tepat jawaban pasien, maka dia semakin baik kondisi jiwanya.”
Setelah agak lama berdiam, Djuwono pura pura tidak tahu dan bertanya dengan nada serius kepada pak Santo mengenai  campuran sop yang berwarna putih. Pak Santo menjawab, ”Makaroni.” Djuwono berteriak, ”Lulus! Sampeyan waras, Pak!” Suasana hening pun pecah menjadi gelak tawa. Hikmahnya pak Santo sebagai PR III merekomendasikan kepada Ibu Endah yang menjabat psikolog untuk merekrut Djuwono sebagai asisten pembantunya. “Alhamdulillah”, kata Djuwono, “Saya dapat honor”
Kisah menarik lainnya, Djuwono dengan setia membantu Pak Ashari, kepala Dinas PU Jawa Timur yang menjadi dosen luar biasa; mengambilkan kapur, menghapus papan tulis dan lain-lain. Tidak disangka, pak Ashari memberikan seluruh honornya untuk Djuwono. Pada saat-saat terakhir sebagai dosen, ketika hendak masuk mobil hardtopnya, pak Ashari bertanya, “Dju, besok kalo kamu bekerja, siapa orang yang paling kamu hormati?” Djuwono menjawab tegas, “Pemimpin Pak!” Sambil menutup pintu mobil, Pak Ashari bilang ,”Salah!” Karena penasaran ketika  ada kesempatan Djuwono meminta penjelasan,”Kalau pemimpin itu wajib kamu hormati, Dju. Kalau orang yang paling kamu hormati adalah tukang sapu. Kenapa? Tukang sapu itu sore hari membersihkan kantor, seluruh sudut dan celah kantor dia bersihkan. Apapun yang ada di meja kerja kita, yang di rak, yang dilaci, dimanapun dia tahu. Sore hari ada surat datang, dia yang terima, ditaruh di meja TU, pagi ditaruh di meja pemimpin, baru jam 8 surat itu dibuka.”
Wejangan pak Ashari tersebut menancap dalam relung hati Djuwono, yang dia terapkan hingga kini. Dan karena menghormati tukang sapu, Djuwono banyak dibantu oleh tukang sapu selama kuliah di ITS.
Setelah lulus ITS tahun 1982, Djuwono bekerja pada PT Dwi Satrya di Kendari, Sulawesi Selatan. Merasa kurang pas, dia pulang ke Surabaya dan bekerja di PT Indah Karya sebagai Design Engineer untuk perencanaan saluran irigasi. Masih pada tahun 1982, Djuwono diterima di PT Adhi Karya Surabaya sebagai site engineer dalam proyek pembangunan PT PAL. Setelah pembangunan PT PAL selesai, dia ditugaskan di  ke Tamahera Makassar untuk pembangunan gedung sains dan teknologi Universitas Hassanudin. Kembali ke Surabaya pada tahun 1986, dia ditunjuk oleh PT Indoko menjadi pelaksana pembangunan Gardu Induk PLN Malaya Nganjuk.  Selain berkarya dibidang profesi, Djuwono juga sempat berkarir dibidang pendidikan selaku Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Mesin Universitas Ekashabakti Surabaya (1982-1983).
Atas saran dan dorongan Ir Chaerul Djaelani, Djuwono memantapkan hati untuk merintis karir sebagai pegawai negeri sipil. Dan pada tahun 1986, dia resmi menjadi PNS dan ditempatkan di Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya di Banyuwangi. Setahun di Banyuwangi dia ditunjuk sebagai staf di BAPPEDA Provinsi Jawa Timur. Disinilah Djuwono mulai berinteraksi secara aktif dan banyak menimba ilmu serta pengalaman dari para alumni  senior ITS di lingkungan Pemprov Jatim, diantaranya Ir. Mustikad Astari, Ir. Syamsul Bakri dan Ir. Mukayat. Petuah-petuah  Ir Chaerul Djaelani mampu membangkitkan semangat dan kepercayaan diri untuk bekerja secara fokus dan sungguh-sungguh, amanah dan bertanggung jawab.
Pada tahun 1991, Djuwono mulai mendapatkan kepercayaan  sebagai kepala seksi Pengairan BAPPEDA Jawa Timur. Masih di BAPPEDA, dua tahun kemudian dia ditunjuk sebagai Kepala Seksi Pendidikan, pemerintah dan Mental Spiritual hingga tahun 1995.
Atas dorongan dan dukungannya kala itu, Ir Sukur Harianto (Kabid Sosial Budaya BAPPEDA), dan juga usulan Bupati Bondowoso Kolonel (art) Agus Saroso kepada Gubernur Basofi Sudirman, Djuwono diangkat sebagai Kepala Dinas PU Bina Marga Kabupaten Bondowoso, Djuwono mengabdikan sepenuhnya kemampuan dan keahliannya untuk membangun institusi PU yang solid untuk merealisasikan tugas-tugas yang diamanahkan.
Tahun 2004, dia diangkat menjadi Asisten Ekonomi dan Pembangunan Setda Kabupaten Bondowoso. Setahun kemudian, dia dipercaya sebagai Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Dan tahun 2009 dia diangkat menjadi Kepala BAPPEDA Kabupaten Bondowoso.
Jabatan-jabatan strategis di lingkungan Kabupaten Bondowoso membuat Djuwono merasa tertantang  untuk memberikan sumbangsih  terbaiknya. Pengalaman sebagai aktivis, diakuinya banyak mendukung kinerjanya--- khususnya adalah hal lobi-lobi dan komunikasi publik.
Untuk mensukseskan program-program pemerintah, Djuwono tidak kenal  lelah membina hubungan baik dengan para ulama berpengaruh dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya, keluar masuk pondok-pondok pesantren dan masjid-masjid. Dari para ulama dan tokoh masyarakat inilah, dia banyak memperoleh masukan selama mensosialisasikan program-program pemerintah. Dan pada gilirannya, progam-program pembangunan pun memperoleh dukungan yang signifikan. Selain itu, Djuwono juga banyak melakukan lobi-lobi, baik di tingkat pemerintahan provinsi maupun pemerintahan pusat, dalam rangka memperoleh dukungan terhadap program-program pembangunan di daerahnya.
Sebagaimana biasa ditemukan di instansi-instansi lain, Djuwono juga mengakui bahwa kadang terjadi perbedaan cara pandang dengan pimpinannya dalam menentukan program-program prioritas. Tetapi dia menegaskan bahwa semua instansi, apapun bentuknya akan mampu bergerak dan bekerja secara maksimal bila bersatu dan solid--- layaknya sebuah tim sepakbola. Maka dia tetap menjunjung loyalitas dalam melaksanakan berbagai tugas-tugas yang diamanahkan.
Selain sebagai pejabat pemerintah, Djuwono juga aktif di bidang pendidikan untuk pengembangan sumber daya manusia di wilayahnya. Tahun 2000 dia dipercaya sebagai Dekan Fakultas Teknik Sipil Universitas Bondowoso, yang berperan melobi dan membangun kerjasama dengan ITS Surabaya. Dan mulai tahun 2004 hingga sekarang, Djuwono diangkat sebagai Pejabat Rektor Sementara Universitas Bondowoso.
Menyikapi wacana membangun kemandirian bangsa, Djuwono berpendapat bahwa itu akan dapat diwujudkan apabila pembangunan SDM melalui pendidikan benar-benar dilaksanakan dengan baik. Tanpa SDM yang kompeten dan profesional, cerdas dan berdaya saing, bangsa ini akan sulit berdikari. Dengan pendidikan yang berkualitas dan berpihak pada rakyat kebanyakan, maka karakter bangsa akan terbentuk ---karakter bangsa yang mandiri, jujur dan akuntabel, disiplin dan amanah.
Suami Hj Sri Rahayu Siswaningsih dan ayah dari tiga orang putri--- Ari Santi, Ari Aswezni dan Ari Suryantina--- Djuwono mengaku menjalani hidup bagaikan air yang mengalir, ikhlas dan berserah diri pada Allah SWT, belajar pada siapapun dan mengambil hikmah dari apapun. Yang demikian tercermin pada untaian kalimat yang dia tulis pada lembar questioner yang kami kirim.

Berterimakasihlah kepada orang yang telah mencelakai kita, karena dia telah melatih kegigihan kita
Berterimakasihlah kepada orang yang telah menipu kita, karena dia telah menambah pengalaman dan wawasan kita.
Berterimakasihlah kepada orang yang telah mencambuk kita, karena dia yang telah membuat kita berlari kencang.
Berterimakasihlah kepada orang yang telah meninggalkan dan mencampakkan kita, karena dia telah mendidik kita untuk mandiri.
Berterimakasihlah kepada orang yang telah menyalahkan kita, karena dia telah mendidik kita untuk mandiri.
Berterimakasihlah kepada orang yang telah memarahi kita, karena dia telah membantu menumbuhkan ketenangan dan kebijaksanaan kita.
Berterimakasihlah kepada semua orang yang telah membuat kita kuat, kokoh dan berhasil


 
BERBAKTI KEPADA ORANG TUA


BERANILAH BERMIMPI DAN KEJARLAH MIMPI ITU


MEMBANGUN ITU SEPERTI MENANAM POHON 

PARA PEMIMPIN


****
Ditulis ulang bersama :
LARAS PUJI HASTUTI -  SDN 2TUGU –KELAS 6
BUDHI TRI MARYANTO- SMP MUHAMMADIYAH CAWAS- KELAS 8

Dari buku, INSPIRING TO SUCCESS –Jejak Langkah 100 Alumni ITS
 
                                                                                                                                                                  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar