Jumat, 13 September 2013

BERPEGANG PADA NILAI NILAI KEBENARAN



Prof. Dr. Ir. Achmad Jazidie, M. Eng 
(Dosen Tetap ITS, 1984- Sekarang.)
(Komisaris PT Media Nusantara Citra 2008- Sekarang)


Achmad Jazidie, ketika kecil dia tidak pernah membayangkan dirinya menjadi insinyur apalagi guru besar, melainkan menjadi seorang ustad atau kyai. Dan karena keteguhannya  pada prinsip, dia pun berhasil  menjadi sosok pribadi yang utuh--- seorang intelektual yang agamis, otak yang cemerlang dan hati yang teduh.
Lahir di Gresik, tanggal  19 Februari 1959, anak kedua dari sembilan bersaudara, Jazidie dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama. Ayahnya adalah seorang penghulu, kepala kantor agama tingkat kecamatan, yang lebih suka mendidik anak-anaknya  dengan memberi contoh dalam bersikap dan bertindak. Karena lahir di lingkungan pesantren, Jazidie hanya berpikir untuk belajar di pondok pesantren. Tetapi ayahnya berpikir lain, menginginkan anaknya menjadi cendekiawan dan cenderung menyekolahkan di sekolah umum. Karena  Jazidie ngotot, akhirnya diambil jalan tengah, dia dimasukkan ke SMP Ma’arif di Gresik. Lulus SMP, Jazidie meneruskan ke Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang yang menyelenggarakan pendidikan tingkat SMA. Tetapi karena muridnya hanya sedikit, semua murid dijadikan satu kelas dan ditetapkan  untuk jurusan IPS, sementara Jazidie menyukai ilmu eksakta. Akhirnya Jazidie pulang ke Gresik dan meneruskan ke SMA Negeri Gresik---dan berkat kecerdasannya, tahun 1976 dia dinobatkan sebagai siswa teladan SMA se-Kabupaten Gresik. Karena prestasinya ketika itu, dia memperoleh kesempatan untuk masuk ke lima perguruan tinggi negeri tanpa tes.
Memilih kuliah di ITS 1977, Jazidie memantapkan hati untuk mendalami teknik elektro karena dianggap sangat menantang. Selain aktif di kegiatan organisasi kemahasiswaan, dia juga mulai mengajar di bimbingan belajar dan di sebuah SMP di Gresik sejak semester III. Selain dapat membiayai kuliahnya, kegiatan mengajar membuat dirinya merasa berarti dan menemukan sentuhan kebahagiaan ketika berbagi ilmu. Di ujung kuliahnya, ayahnya meninggal. Suatu masa yang dilematis, Jazidie merasa tidak memiliki kekuatan  untuk melanjutkan kuliahnya---melihat masih banyak adik-adiknya yang harus sekolah. Hanya satu yang hinggap dipikirannya, bekerja dan dapat membiayai adik-adiknya. Hingga kemudian teman seangkatan mencarinya dan datang ke rumah untuk mengajaknya kembali ke kampus. Pada saat itulah, Jazidie merasakan begitu penting arti sebuah pertemanan---yang pada kondisi tidak menentu, dia datang seperti secercah cahaya.
Usai diwisuda tahun 1983, Jazidie mengabdikan diri di almamaternya sebagai konskuensi beasiswa ikatan dinas yang diterimanya dan setahun kemudian dilantik sebagai PNS. Tipe pekerja keras yang cerdas, diapun berusaha belajar dari para seniornya di ITS dan harus pandai-pandai membawakan diri. Meskipun di dunia kampus semua orang menghargai perbedaan pendapat, kadang diapun harus pandai menahan perasaan.
“Pertama kita harus punya rujukan yang jelas tentang benar dan salah, dan komitmen untuk terus berpijak dan berpegang pada kebenaran. Dan kebenaran yang absolut adalah yang berdasarkan agama,” jelas Jazidie tentang bagaimana menapaki jalan hidup. “Kedua, buatlah lingkungan kerja kita terkesan. Untuk itu kita harus kerja keras, kita harus cerdas. Buat atasan atau lingkungan kerja merasa oh arek (anak) iki pinter, arek iki prigel, nek diwenehi kerjaan pasti beres.
Dan menurut Jazidie, harus ditanamkan semangat pengabdian dalam diri sendiri. Sebagai bawahan seseorang harus loyal pada atasan--- bukan berarti menjilat, tetapi bagaimana kita mampu mendukung tugas-tugas pimpinan dengan tetap berpegang  pada nilai-nilai kebenaran. Berusahalah memberi warna kepada lingkungan kerja, berusaha memberi kontribusi terbaik yang bisa kita berikan. Dan tidak perlu menganggap rekan kerja sebagai kompetitor, melainkan sebagai tim kerja untuk tujuan bersama.
“Ibarat tim sepak bola di lapangan hijau, setiap anggota tim harus berusaha bekerja lebih keras untuk mendukung bekerja lebih keras untuk mendukung tercapainya satu tujuan, goal. Dari sebelas anggota tim, pasti ada satu dua yang menjadi jagoan, yang ketika dia berhasil mencetak goal semua akan memeluknya. Tidak ada yang iri atau dengki, karena mereka ada dalam satu tujuan, prestasi. Begitu juga ketika penjaga gawang kebobolan atau pemain depan gagal mengeksekusi penalti, tidak ada yang menghujat, melainkan bersama-sama  membangkitkan  semangatnya, karena mereka semua melihat tujuan yang lebih besar, kemenangan tim,” jelas Jazidie. “Di akhir pertandingan, kita melihat bagaimana tim pemenang merayakan keberhasilan, tak perduli mencetak goal atau tidak, karena semua merasa telah memberikan yang terbaik. Sebaliknya bagi tim yang kalah, berapapun bisa mencetak gol, dia tetap saja melangkah tertunduk.”
Tahun 1985 sebagai dosen muda, Jazidie terpilih menjadi Tim Proyek Listrik Masuk Desa, kerja sama ITS-Pemda Jawa Timur hingga tahun 1989. Dia pun terus belajar meningkatkan kompetensi dibidang akademik dengan menimba pengalaman di lapangan untuk ditransfer kepada anak didik.
Memperoleh beasiswa dari Hitachi Scholarship, Jazidie berkesempatan melanjutkan kuliah program S2 di Universitas Heroshima di Jepang tahun 1989. Setelah setahun belajar bahasa Jepang, dia berhasil meraih gelar master di bidang information engineering tahun 1991. Dia melanjutkan program S3 di bidang industrial and system engineering di universitas yang sama dan berhasil meraih gelar doktor tahun 1995.
Sepulang dari Jepang, selain kembali mengajar di kampus ITS, Jazidie juga berusaha mentransfer ilmu dan teknologi yang dikuasai dalam berbagai pelatihan. Tahun 1996, dia dipercaya sebagai Sekretaris Jurusan Teknik Elektro ITS dan setahun berikutnya ditugaskan merangkap jabatan sebagai Ketua Program Studi Teknik Elektro Pasca Sarjana.
Tahun 1999, Jazidie dipilih sebagai Ketua Jurusan Teknik Elektro FTI ITS, kemudian dia mendapat kepercayaan sebagai Pembantu Rektor III ITS, untuk masa bhakti 2003-2007. Selain mengemban jabatan struktural, Jazidie juga mendapat kepercayaan memimpin beberapa proyek penting : diantaranya sebagai Ketua Program  PULSE (Public University Link System  of East Java), kerja sama PTN dan IAIN se-Jatim (2003-2007), Ketua Project Implementation Board untuk PREDICT ITS (Project  for Research and Education Development on ICT in ITS), Kerja sama JICA ITS mulai tahun 2006 hingga sekarang. Selesai mengembang tugas sebagai Pembantu Rektor ITS tahun 2007, Jazidie diminta untuk menjadi Komisaris  PT Semen Gresik Tbk. Setahun kemudian, dia juga dipercaya menjadi Komisaris PT Media Nusantara Cipta Tbk.
Menyikapi usaha menuju kemandirian bangsa, Jazidie menyoroti lemahnya etos kerja dan kurangnya kedisiplinan. Selama menempuh pendidikan di Jepang, dia banyak mempelajari budaya dan cara hidup masyarakat Jepang--- yang merasa malu jika tidak bekerja keras, merasa malu apabila tidak berhasil melaksanakan tugas. Bagi orang Jepang, hidup adalah pertaruhan harga diri--- yang apabila tidak dipakai harga diri mereka terasa terpuruk. Bukan maksud menjelek-jelekkan bangsa sendiri, menurut Jazidie, bahwa bangsa Indonesia harus sadar akan kelemahannya yang mendasar, etos kerja dan sikap disiplin. Apabila bangsa itu tidak sadar, maka bangsa ini tidak akan pernah mampu memperbaiki dirinya.
“Kita bangsa yang beragama, memiliki landasan teologis yang jelas bahwa bekerja itu adalah ibadah,” jelas Jazidie, yang pernah dipercaya menjadi dosen tamu di Saga University di Jepang. “Nah, kalau bekerja adalah ibadah, maka segala tindakan dan perbuatan kita persembahkan kepada Tuhan. Artinya kita harus berusaha keras untuk mempersembahkan yang terbaik. Dan kita terperangah, ketika diperlihatkan fakta yang ada di negara lain, yang dalam hidup tidak memiliki teologi yang jelas, ternyata mereka justru berusaha mati-matian untuk melakukan yang terbaik. ”
Lingkungan masyarakat memiliki andil yang besar. Dia mencontohkan setiap dosen yang belajar di luar negeri, secara otomatis mereka harus beradaptasi dan belajar kepada lingkungannya. Di sana banyak doktor dan profesor yang naik angkutan umum, bis kota atau kereta api. Begitu pulang ke Indonesia, satu atau dua tahun, mereka masih mampu bertahan dengan pola  pikir seperti itu--- pergi ke kampus naik angkot. Biasanya lingkungan dan tetangga menghakimi. “Jauh-jauh kuliah ke luar negeri, kemana-mana naik angkot.” Lama kelamaan bobol juga pertahanannya. “Ukuran sukses di masyarakat kita bukan kemampuan ilmu pengetahuan atau karya yang diberikan. Melainkan kalau mudik lebaran anak-anaknya bawa mobil.”
Jazidie menyimpulkan bahwa pendidikan harus menjadi prioritas utama dalam pembangunan bangsa. Dan tidak dipungkiri bahwa hampir  seluruh bangsa ini sadar akan hal itu. “Sayangnya kita terlalu senang beradu pintar berwacana, pinter-pinteran ngomong, pinter pinteran komentar,” keluh Jazidie. “Samai-sampai kalau saya menyebut kata pendidikan seolah kehilangan makna, karena seringya disebut.” Contoh, hanya pelaksanaan Ujian Nasional, begitu banyak orang ribut dengan begitu banyak argumen dan komentar. Semua program harus punya sasaran, harus punya target. Dan ketika palu sudah diketok, seluruh elemen masyarakat seharusnya mendukung untuk mensukseskannya. Nah kalau begini, tarik ulau terus menerus, ya nggak  jalan-jalan.”
Harus diakui, ibarat tim sepak bola, bangsa Indonesia belum bisa menjadi tim yang padu dan solid. Dalam hal inilah Jazidie berharap bangsa Indonesa mampu membuat konsensus nasional di berbagai bidang strategis yang didukung dan dihormati oleh seluruh elemen masyarakat--- tidak ada lagi cek cok, tidak ada lagi pinter-pinteran ngomong, melainkan semua berbuat dan bertindak untuk mensukseskan tujuan bersama: kemandirian bangsa. Langkah ke arah tujuan itu memang masih jauh, dan harus segera dimulai. Karena kalau tidak, bangsa ini tidak akan pernah melangkah dengan tegap.
Jazidie berharap perguruan tinggi di Indonesia  tidak hanya berfungsi sebagai kekuatan moral, melainkan juga kekuatan riil  untuk semakin meningkatkan gerakan pemberdayaan masyarakat, terus menerus mempromosikan budaya disiplin dan etos kerja tinggi--- disamping membangun kader-kader muda yang unggul dan handal. Dari kampus-kampus perguruan tinggi inilah merah hitam warna bangsa ini akan ditentukan.
Perkembangan kampus ITS sendiri, menurut Jazidie sangat membanggakan. Proses belajar mengajar sudah jauh lebih baik, usaha-usaha untuk meningkatkan keunggulan-keunggulannya juga semakin ditingkatkan. “Alumni ITS terkenal sebagai pekerja keras, militan dan punya  dedikasi tinggi. Karena itu, umumnya kalau sudah bekerja, mereka benar-benar fokus pada pekerjaannya. Sehingga terlalu fokus menjadi kurang menjalin komunikasi antar sesama alumni. Akibatnya banyak alumni ITS sendiri yang tidak tahu teman-teman alumninya dimana dan jadi apa,”  jelas Jazidie. “Fokus dan komitmen pada pekerjaan itu wajib, tetapi menjalin komunikasi dan membangun jejaring yang kuat, peran alumni ITS akan semakin besar bagi pembangunan bangsa ke depan. Setidaknya alumni ITS bisa saling tukar informasi, saling berbagi pemikiran dan gagasan untuk bagaimana memberikan kontribusi terbaik pada masyarakat”



BERBAKTI KEPADA ORANG TUA


BERANILAH BERMIMPI DAN KEJARLAH MIMPI ITU


MEMBANGUN ITU SEPERTI MENANAM POHON 

PARA PEMIMPIN






**** Sumber:  BUKU BIRU BESAR -- "INSPIRING TO SUCCES”,  Menuju Kemandirian Bangsa, Jejak Langkah 100 Almuni ITS, 2010

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar