Jumat, 13 September 2013

AMBILAH HIKMAH DARI MANAPUN DATANGNYA



Drs. H Ahmad Ubaidi, MSi
 (Kepala Kantor Kemenag Kab. Tegal di Slawi)


Sebuah pepatah, “Khudz al-hikmati walau min ayyi wi’ain kharajat.” Ambilah hikmah (pelajaran) biar dari manapun datangnya.
Begitulah,  setiap kali membaca perjalanan hidup seseorang pasti akan kita temui poin-poin berharga yang bisa diambil sebagai pelajaran. Bila kita cermati hal itu ada benarnya, sebab dari para tokoh atau pejabat yang ditampilkan biasanya memilik bakground yang bermacam dan otomatis dengan pengalaman hidup yang berbeda.
Namanya Ahmad Ubaidi, dan panggilan karibnya Ubed atau Mas Ubed. Dia lahir di  desa Salakbrojo, Kecamatan Kedungeuni, Kabupaten Pekalongan pada tanggal 3 Oktober 1958 dari pasangan Syamuri dan Atijah. Menurut ilmu sharaf Ubaidi berarti hamba yang kecil, orang tuanya memberikan nama itu mengandung doa agar anak kesayangannya itu rumangsa  kecil dan tidak merasa besar. Lebih baik merasa kecil tapi mampu berbuat besar daripada sebaliknya, kata Ubed.
Ubed adalah anak ketiga dari 11 bersaudara, tapi yang masih hidup 10 orang, terdiri dari 6 putra dan 4 putri. Sebagai anak laki-laki tertua, ayah berwasiat pada Ubed agar jangan cepat-cepat menikah. Lha kok? “Iya pokoknya adikmu disekolahkan dulu.” Kata ayah suatu ketika. Memenuhi wasiat ayah, maka Ubed telah berusaha untuk berfungsi sebaik mungkin sebagai orang tua sekaligus guru. “Dan alhamdulillah adi-adik nurut (patuh) semua, saya bangga kepada mereka,” kata Ubed. Mereka prihatin, salah seorang adiknya pergi kuliah naik sepeda onthel 25 km hingga sarjana. Dia juga bersyukur  karena keempat saudara prianya semua menjadi PNS. Sementara yang putri kebanyakan bisnis konveksi dari batik, tapi ada juga yang jadi petani. Ubed sukses memimpin adik-adiknya. Sebagai konskuensinya Ubed harus rela disalib adik-adiknya untuk menikah lebih dulu. Ubed menikah dengan Hj Malikhah, SH pada tanggal 4 April 1993.
Ahmad Ubaidi dilantik sebagai Kepala Kantor Kementrian Agama Kabupaten Tegal di Slawo pada tanggal 25 Juli 2011. Sebelumnya dia menjabat sebagai Kasi Mapenda Kantor Kemenag Kabupaten Pekalongan. Ketika memotivasi para pegawai kantor isinya mirip seperti yang disampaikan kepada adik-adiknya. Pertama agar setiap menerima apapun pekerjaan (apa saja) yang dipercayakan kepada kita hendaknya diniati dengan nawaitu ibadah. Pekerjaan yang kita tangani secara profesional dengan niat ibadah, akan selalu hati-hati dan terkontrol, terasa enak dan tanpa beban. Kita jangan mudah marah kepada anak buah atau kepada murid ketika menjadi guru. Ubed menjelaskan tidak pernah meminta jabatan. Sebab yang seperti itu memang tidak boleh dilakukan. Dia bahkan beberapa kali menolak ketika ditawari menduduki satu jabatan. Ubed mohon untuk diberikan  kepada teman yang lain dulu, tetapi setelah tiga kali memintanya maka Ubed tak mampu menolak. Barangkali dari indikasi beberapa sikap Ubed itulah maka teman-temannya di kantor menjuluki dia sebagai pegawai low profile.  Kalau bahasa santrinya tawadhu’ atau rendah hati, bukan rendah diri.
Juga ada ngilmu Jawa yang ikut mewarnai sikap Ubed ketika memberi nasehat kepada orang lain. Menurutnya dalam praktik kecuali harus menahan emosi, juga harus  mampu menyesuaikan dengan strata yang akan dinasehati agar butir-butir nasehatnya bisa jatuh ke tanah yang subur. Dia ingat betul ketika seorang tua dengan bahasa Jawa memberi nasehat kepadanya. “Ngandani wong iku ana undha usuke”, menasehati orang itu ada tingkatannya. Tidak bisa disamaratakan atau di gebyah uyah.  Ada tiga tingkatan, yang pertama Esemantri, Kedua Semu Bupati dan ketika Dhupak Bujang. Misalnya jika saja orang yang datang terlambat, jika dia orang tua atau punya jabatan maka dilihat dengan senyum saja sudah mudheng.  Untuk level kedua perlu nasehat, sedang Dhupak Bujang untuk mereka yang tidak mudah memahami bahasa sanepo, jadi agak vulgar.
Karena tertarik pada nilai luhur itu, Ubed mengaku tidak sampai menanyakan apa arti ketiga kata mutiara tersebut. Yang jelas maknanya sangat bagus dan Islami. Pesan dari si orang tua jangan sampai salah pasang atau dibolak balik. Sebab kalau salah pasang bisa fatal akibatnya. Misalnya dengan orang yang tingkatannya tinggi kok menggunakan Dhupak Bujang, akibatnya bisa berantem, tidak membawa maslahat tapi mafsadat. Jika dikaitkan dengan ilmu komunikasi, maka agar pesan bisa sampai kepada pendengar/komunikan dengan benar maka harus ada frame of reference antar komunikator dan komunikan.
Ubed kecil menyelesaikan  pendidikan MI di desa Salakbrojo, 3 km dari Kedungwuni arah timur. Dulu punya obsesi untuk bisa sekolah sambil ngaji di pesantren. Itulah sebabnya ketika melanjutkan sekolah PGAN 4 th, Ubed tinggal di PP Grogolan, Pekalongan yang diasuh KH Dimyati. Setelah tamat PGAN 4 th pada tahun 1975, Ubed melanjutkan PGAN 6th yang diselesaikan pada tahun 1977. Sarjananya diperoleh di Falkutas Tarbiyah PAI IAIN SGD Cirebon tahun 1992. Sedang untuk S2 diperoleh di Universitas Darul Ulum Jombang.  Diterima sebagai PNS pada 1 Maret 1979 sebagai guru agama MI di Kota Pekalongan, lalu pindah ke Kabupaten Pekalongan. Prestasinya mengantarkan dia terpilih sebagai karyawan teladan saat menjadi Staf Urais dan terulang kembali ketika menjabat sebagai Kasubsi.
Ada yang lucu terkait  kepindahan Ubed dari Kemenag Kota ke Kabupaten Pekalongan. Sebagai pegawai negeri baru, dia memang belum tahu sama sekali alur pengangkatan dan mutasi seorang pegawai. Dulu, ketika pertama kali daftar PNS, Ubed mendaftarkan diri di Kantor Kemenag Kabupaten Pekalongan. Ketika menerima blesit pengangkatan sebagai PNS, bunyinya ditugaskan sebagai Guru Agama MI di Kemenag Kota Pekalongan. Dia terkejut membaca surat penugasannya, bahkan menduga ada yang salah. Sebab tempat tugasnya tidak sama dengan tempat mendaftarkan. “Mengapa kota Pekalongan bukan Kabupatennya? Padahal saya mendaftarkan  menjadi PNS itu di Kabupaten Pekalongan, bukan di Kota.” Begitu pertanyaan dalam hati.
Kemelut di hati Ubed itu akhirnya disampaikan ke Kasubag TU Kota Pekalongan, H Zarkasyih. Lucunya lagi lain pak Zarkasyiah lain Ubed. Pak Zarksyiah mengira kalau Ubed minta pindah ke Kabupaten tidak mau di kota. Karena itu dengan kalem Pak Zaekasyiah menjelaskan SK itu sudah benar, tidak salah. Jadi kalau Pak Ahmad Ubaidi mau pindah ke kabupaten itu gampang, nanti bisa dibantu dan diuruskan. Padahal sebenarnya Ubed cuma mau konfirmasi saja dan bukan mau pindah. Wong dia merasa belum paham tentang lika-liku birokrasi. Tapi nampaknya Pak Zarkasyiah tetap pada keyakinannya bahwa Ubed memang minta pindah, dan proses usulannya berjalan. Akhirnya jadilah SK pindah Ubed ke Kemenag di Kabupaten Pekalonga, sampai akhirnya dipercaya menjadi Kakan Kemenag Kabupaten Tegal di Slawi sampai sekarang. Biasanya setiap jam 6.15 sudah tiba di kantor, lalu menemui tukang sapu dan tukang kebun lalu shalat dhuha. Awalnya teman-teman di Slawi heran, tapi alhamdulillah sekarang sudah mau menyesuaikan. 


**** Sumber:  Majalah Rindang No 8 Edisi Maret 2012

 
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar