Jumat, 13 September 2013

RELA BERKORBAN DEMI KEBAHAGIAAN ORANG LAIN



Drs. Siti Safuroh, M.Si
 (Guru PAI SMP N 2 Giriwoyo, Wonogiri, Jawa Tengah)


Duta Jawa Tengah dalam lomba guru teladan tingkat nasional ini, sejak kanak-kanak sama sekali tidak pernah membayangkan kelak setelah dewasa mau menjadi apa. Yang penting apa yang dia miliki dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat atau orang banyak. Boleh dikata, keinginannya sangat abstrak sekali.
Untuk mencapai cita-citanya itu, pehobi berat membaca, menulis  dan berorganisasi ini sangat menghargai waktu. Sepanjang waktu dalam kesehariannya ia habiskan untuk melahap buku-buku dan menggoreskan pena di kertas putih atau berlama-lama didepan komputer untuk menuangkan gagasannya di sela-sela kesibukan, sejak menjalani tugas belajar, hingga menjadi pengabdi pendidikan dan ibu rumah tangga yang mendampingi suami dan mengurus dua anak yang menjadi buah hatinya.
“Kesukaan saya sejak kecil hingga mahasiswa adalah membaca dan menulis serta berorganisasi. Alhamdulillah hobi membaca dan menulis kini masih melekat. Sedang  kumpul-kumpul untuk berorganisasi agak saya kurangi, karena setelah berkeluarga saya mengurangi aktivitas di luar rumah atau berorganisasi,” kata Safuroh.
Memilih hobi membaca dan menulis merupakan pilihan  yang tepat baginya, karena aktivitas ini sangat didukung oleh lingkungan tempat ia lahir dan menjalani masa anak-anak sampai remajanya. Tempat kelahiran dan tempat tinggalnya di Desa Bandung, Kecamatan Tegak Selatan, Kota Tegal merupakan lingkungan yang sangat religius.
Dalam keseharian anak-anak di kawasan ini sangat terkontrol dengan kegiatannya. Banyak aktivitas pengajian, mulai dari belajar mengenai huruf Arab, membaca Al Qur’an sampai mengaji kitab-kitab yang diawasi oleh para kyai di kampung sangat membantu pembentukan watak masyarakatnya.
Keberadaan lembaga pondok pesantren Mambaul Ulum dibawah asuhan Kyai Abdul Hamid Yusuf juga sangat membantu pembentukan watak dan moral anak-anak yang tinggal di kawasan Tegal Selatan khususnya Desa Bandung. Di dalam masyarakat yang sangat kental dengan pengamalan nilai-nilai agama Islam. Itulah Safuroh menghabiskan masa kecil hingga remajanya.
Sepanjang hari, seusai mengikuti pelajaran sekolah formal, waktunya ia habiskan untuk beraktivitas di lingkungan Pondok Pesantren Mambaul Ulum bersama-sama dengan teman sebayanya. “Di lingkungan seperti itulah dulu saya bermain, beraktivitas dan belajar agama bersama teman-teman sepanjang siang, sore dan malam hari. Seakan di sepanjang waktu kita ditunggui oleh guru ngaji, santri senior dan pak kyai,” katanya.
Dengan lingkungan yang sangat religius seperti itulah anak pasangan Toyib Abdullah dan Harisa, yang memiliki perhatian besar terhadap pendidikan anak-anaknya. Orang tua Safuroh merasa mantap menyekolahkannya di lembaga pendidikan umum yang porsi pelajaran agamanya sangat terbatas. Karena bekal ilmu agama sudah diperoleh dari guru-guru ngaji di kampung dan pondok pesantren Mambaul Ulum.
Memang pendidikan formal dari tingkat dasar hingga menengah atas yang dilalui anak keempat dari lima bersaudara ini semuanya lembaga pendidikan umum. Masing-masing SDN Bandung 1 Tegal (lulus tahun 1977), SMPN 1 Tegal (lulus 1981), dan SMAN 1 Tegal (lulus 1984). Selama duduk di bangku sekolah formal itu Safuroh tergolong siswa berprestasi. Selepas SMP, tiga sekolah negeri di kota kelahirannya dimasuki, masing-masing Sekolah Pendidikan Guru Negeri (SPGN) Tegal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Negeri (SMEAN) dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Tegal,  dan ia dinyatakan diterima di ketiga sekolah itu. Namun yang dipilih adalah SMAN 1 Tegal.
Seusai dari SMA, Safuroh masuk ke Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang. Gelar sarjana pendidikan berhasil ia peroleh pada tahun 1989. Ketika memilih untuk masuk ke IAIN Walisongo banyak orang yang bertanya. “Kok berani-beraninya masuk IAIN?” Mengingat pendidikan yang dilalui adalah sekolah umum dan bukan sekolah agama? Demikian tanda tanya yang mengiringi upayanya untuk masuk ke IAIN Semarang.
“Ya pertanyaan seperti itu muncul dari teman-teman saya sewaktu di SMP dan SMA, ketika saya lulus SMA dan memilih masuk ke IAIN. Pertanyaannya bernada meragukan kemampuan saya. Apa bisa lolos? Setelah masuk apa bisa mengikuti perkuliahan? Mengingat program studi dan perguruan tinggi yang saya masuki tidak sejalur dengan pendidikan formal yang saya lewati sejak pendidikan tingkat dasar hingga menengah, saya tidak pernah sekolah di MI, MTs atau MA,” katanya
Keraguan akan kemampuannya itu merupakan sesuatu yang wajar kalau dalam melihat sosok wanita energik dan kalem ini hanya dari sudut pandang asal-usul pendidikan formalnya sebelum masuk ke IAIN. Namun setelah mengetahui aktivitasnya di luar kegiatan formalnya, tentu orang akan segera mafhum. Kenapa Safuroh berani masuk ke IAIN? Karena tenggang waktu  di luar jam sekolah formalnya ia manfaatkan untuk memperdalam ilmu agama, melalui kegiatan mengaji kepada para kyai kampung dan pondok pesantren Mambaul Ulum yang dekat dengan tempat tinggalnya.
Proses studinya di IAIN Walisongo Semarang ia lalu dengan mulus, hingga akhirnya lulus tepat waktu di tahun 1989. Kesuksesan menyelesaikan pendidikan jenjang S1 di ulangi kembali ketika ia masuk program pasca sarjana S2, dengan konsentrasi Pendidikan Islam di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Gelar Master Studi Islam ia raih di tengah-tengah kesibukannya sebagai pengajar dan penulis buku pada tahun 2005.
Dan sederet bangku pendidikan yang ia lalui itu, studi di IAIN Walisaongo Semarang dirasa sangat mengesankan bagi dirinya sendiri. Kala itu masuk IAIN, proses perkuliahan dengan sistem SKS baru saja diterapkan di perguruan tinggi IAIN. Semula sistem ini dikhawatirkan akan memberatkan mahasiswa baik di kampus maupun di luar kampus.
Ketatnya jadwal kuliah yang seakan memposisikan mahasiswa selalu diburu waktu agar cepat menyelesaikan kuliah tidak mengganggu upayanya dalam mengaktualisasikan dan mengembangkan bakat, hobi dan kesukaannya. Di tengah-tengah kesibukannya untuk menyelesaikan kuliah, Safuroh masih menyempatkan diri untuk beraktivitas dalam kegiatan mahasiswa.
Aktivitasnya yang digelutinya selama menjadi mahasiswa diantaranya Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, Pergerakan  Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Semarang, Pramuka dan Pers Kampus melalui Surat Kabar Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang ”Amanat”.
“Di pers kampus itulah saya mendapatkan pengalaman yang sangat berharga. Dunia tulis menulis ‘yang sebenarnya’ saya dapat dari sini. Kegiatan kecil-kecilan seperti mengelola majalah dinding sewaktu di SMP dan SMA bisa saya kembangkan di sini,” katanya.
Sebagai mahasiswa yang mengambil studi Tarbiyah, ia lebih suka menulis artikel-artikel yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Kegemarannya menyoroti perkembangan dunia pendidikan ia tuangkan dalam tulisan yang dikirim ke berbagai media massa, penerbitan penerbitan khusus seperti Bulletin SMP-SMA yang terbit di Wonogiri.
Selain mengembangkan hobi menulis artikel, ia juga menulis buku-buku pelajaran Pendidikan Agama Islam untuk anak-anak sekolah dan LKS. Beberapa diantaranya diterbitkan oleh penerbit dari Jakarta, sehingga karya-karyanya kini menghiasi rak-rak buku di sejumlah toko buku di tanah air  dan dinikmati sebagian murid di Indonesia yang belajar agama melalui buku PAI yang ditulisnya. Berkat ketekunan dan keteladanannya itu, Safuroh meraih penghargaan yang berkait dengan pendidikan. Terakhir meraih juara ke-2 Guru Teladan Tingkat Nasional mewakili Jawa Tengah.
Terdorong oleh cita-citanya yang sederhana itu, berguna bagi nusa bangsa dan agama, Safuroh selalu melangkah dengan enteng. Berbagai kegiatan yang bermanfaat ia lalui dengan baik. Setelah mengakhiri masa lajangnya tahun 199, ia menyertai suaminya yang berdinas di kota Wonogiri. Ia memulai langkah baru dengan menjadi guru wiyata bakti di SMA Negeri 1 Wonogiri dan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Wonogiri Jawa Tengah. Selang beberapa tahun Safuroh diangkat menjadi PNS yaitu di tahun 1997. Dan selama meniti karir sebagai guru, ia merintis berdirinya Taman Pendidikan Al Qur’an (TPQ) Istiqlal untuk mempersiapkan anak-anak di sekitar tempat tinggalnya agar bisa membaca Al Qur’an dan belajar agama Islam.
Di mata Safuroh tugas mendidik anak-anak dan membekali ajaran agama saat ini menghadapi tantangan yang berat. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat, di sisi lain membawa dampak negatif bagi anak-anak Indonesia.  “Banyak sekali tayangan-tayangan yang tidak mendidik kepada anak-anak kita.”  Karena itu ia selalu mendampingi dua anaknya ketika mereka menyaksikan tayangan televisi. Agar kesan-kesan buruk yang masuk ke pikiran anak-anaknya bisa segera dinetralisir secepatnya.

Menurutnya anak anak Indonesia kini terjajah dan terbelenggu oleh kesan-kesan yang kurang baik dari berbagai televisi. “Namun hal ini tidak bisa kita tolak, kehadiran teknologi merupakan sebuah keniscayaan, karena itu kita harus membentengi anak-anak kita dengan berbagai cara dari serangan informasi yang menyesatkan itu.”


Sebagai salah seorang penyandang gelar juara guru teladan tingkat nasional, Safuroh merasa tertantang untuk selalu berbuat dan memberikan yang terbaik untuk suami, keluarga, murid-murid di sekolah dan masyarakat. Semboyan hidupnya : “Jadikanlah hidup ini seperti lilin, rela berkorban demi kebahagiaan orang lain”. Safuroh menikah dengan Drs Wiyono, MSi  yang juga Guru PAI di Wonogiri dan memiliki dua orang anak yaitu Muhammad Zulfa Al Faruqy  dan Maulida Abdillah Al Faruqi
  
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar