Prof Dr. Ir MUHAMMAD NUH, DEA
(Menteri Pendidikan Nasional)
(Mantan Menteri Komunikasi dan Informasi (2007-2009)
“Saya memiliki kebiasaan, tiap kali habis
shalat Jumat, saya selalu menyempatkan diri berkunjung ke ibu saya, sambil
membawa makanan kesukaan ibu saya yaitu jajan pasar. Sambil bercengkerama,
menanyakan kesehatan dan kebutuhan sang Ibu. Saya berusaha sekuat tenaga dan
perasaan jangan sampai pernah menyakitkan hati Ibu. Dan ternyata perilaku
hormat dan perilaku baik sama ibu tadi itulah yang menghantarkan kesuksesan
saya. Saya sangat yakin akan kebenarannyam yang saya peroleh dalam mimpi ketika
saya memulai berusaha untuk hidup mandiri. Kesuksesan merupakan rahmat dari
Yang Maha Pengasih, berbuatlah dengan penuh kasih sayang, Insya Allah Yang Maha
Pengasih akan memberikan kasih-sayangNya. Apa lagi terhadap kedua orang tua,
itulah yang dimaksud dengan bi’rul walidain (berbakti kepada orang tua).”
Lahir 17 Juni 1959 di Surabaya, anak ketiga dari sepuluh bersaudara, Muhammad
Nuh tumbuh dalam keluarga petani yang sederhana, namun religius. Hal ini karena
ayah beliau, H. Muchammad Nabhani, adalah pendiri pondok pesantren Gununganyar
Surabaya. Kesederhanaan kehidupan kampung dan kondisi orang tuanya menempa Nuh
dengan kultur hidup sederhana, penuh kerja keras, membangun jiwanya dengan
kepedulian sosial yang tinggi.
Dikenal berotak encer, Nuh diterima di Fakultas Teknik Elektro tahun 1977.
Semasa kuliah aktif di HMI korkom ITS dan bersama teman-teman dekatnya Nuh
rajin melakukan diskusi secara berpindah-pindah. Tempat yang sering dijadikan
tempat cangkrukan (bermain) adalah rumah Ridwan Hisjam dan Erlangga Satriagung.
“Pak Nuh
orangnya yang sabar, kebetulan kami dulu mengurusi shalat Jum’at di kampus. Pak
Nuh bertugas menjemput khatib, kalau tidak datang, penggantinya Pak Nuh
sendiri.”, cerita Prof Dr. Ir Achmad
Jazidie mengenang masa-masa kuliah.
Lulus dari ITS tahun 1983, Nuh diminta untuk menjadi dosen di almamaternya.
Namun baru 3 tahun melaksanakan tugasnya, Nuh mendapatkan beasiswa untuk
melanjutkan studinya ke Universite Science et Technique du Languedoc
Montpeller, Perancis, jurusan Teknik Biomedika. Berhasil meraih gelar S2 tahun
1987, Nuh berhasil merampungkan
program doktornya di universitas yang sama tahun 1990.
Dengan ketekunan dan kerja keras, Nuh berhasil menyelesaikan penelitian
untuk disertasinya, “Realisation du System de Controle de I’Appareil
d’Hyperthemie Superficielle ATS 2000.” Dia mengembangkan suatu sistem peralatan
untuk terapi superficial bagi penderita kanker kulit. Peralatan tersebut masih
digunakan di rumah sakit di Val d’Aurelle Montpellier, Perancis sebuah rumah
sakit khusus kanker.
Sepulang dari Perancis, Nuh dipercaya menjadi Pembantu Direktur III
Politeknik Elektronika Negeri Surabaya ITS (PENS ITS) dari tahun 1992-1997,
kemudian menjadi Direktur PENS ITS selama dua periode dari tahun 1997-2003.
Semasa menjadi Direktur PENS ITS, Nuh dipercaya menangani bantuan-bantuan
proyek dari JICA (Japan Internationa Cooperation Agency) di ITS. Dan atas
kesungguhannya dan kerja keranya, Nuh memperoleh penghargaan JICA Special
Awards—yang pertama diberikan JICA kepada orang Indonesia.
Pada tahun 2003, ia diangkat sebagai Rektor—tercatat sebagai rektor termuda
dalam sejarah ITS, yakni berusia 42 tahun saat menjabat. Bersama koleganya di
ITS, Nuh menyusun buku berjudul “Arah Kebijakan Pemanfaatan Teknologi Informasi
dan Komunikasi.” Hasil pemikiran itu kemudian diserahkan kepada Presiden SBY
pada saat Dies Natalis ITS, 10 November 2004. Dalam buku itu, Nuh menyampaikan
pandangannya bahwa saat itu sedang terjadi revolusi teknologi baru, yaitu
revolusi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), atau Information and Communication Technology
(ICT). Menurut dia revolusi teknologi yang terjadi sebelumnya berbeda dengan
revolusi ICT mempunyai dampak yang lebih luas, karena ICT telah menjadi suatu
komponen utama bagi semua teknologi lain termasuk yang sepintas tampak dan
berhubungan, seperti kedokteran, sipil, arsitek, geologi, permesinan,
pertanian, yang perencanaan dan operasionalnya sangat tergantung pada ICT.
“Ikut di dalamnya juga ekonomi, karena ICT telah menjadi komponen utama
bagi kegiatan perekonomian dengan melahirkan cara baru dalam berdagang,
berproduksi, bertransaksi sehingga muncul istilah new economy, internet
economy, knowledge economy, e-economy dan sejumlah nama lain yang menyiratkan
munculnya model ekonomi baru yang digerakkan oleh eksistensi ICT dalam bisnis,”
katanya.
Selain itu, ia menilai ikutannya adalah terjadinya revolusi sosial, karena
ICT telah menyebabkan gaya hidup dan pola bermasyarakat, memungkinkan bekerja
jarak jauh dengan waktu belajar bebas, memberikan ucapan selamat melalui sms,
rapat melalui telewicara, hiburan sesuai permintaan, bahkan hiburan maya yang
seakan nyata (virtual reality). Di bidang hukum juga telah terjadi revolusi
hukum, karena ICT pada akhirnya memunculkan sisi hitam dalam kehidupan umum
manusia, yaitu adanya segelintir orang yang memanfaatkan teknologi untuk
kepentingan pribadi dengan merugikan pihak lain (cyber crime) sehingga
memerlukan penanganan hukum tersendiri (cyber law).
Selain sebagai pendidik dan ilmuwan, Muhammad Nuh juga mencurahkan hidupnya
untuk kegiatan-kegiatan sosial keagamaan. Dia aktif sebagai Ketua ICMI- Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia daerah Jawa Timur, Pengurus PBNU Surabaya,
Sekretaris Yayasan Dana Al Falah Surabaya, Anggota Pengurus Yayasan Rumah Sakit
Islam Surabaya dan Ketua Yayasan Pendidikan Al Islam Surabaya.
Kehidupan religiusnya membuat Nuh dikenal luas sebagai
ulama. Semasa mengabdi di ITS, dia selalu hadir dalam forum diskusi Jam’ah
Masjid ITS setiap malam ba’da Magrib. Menurut pengakuan para mahasiswa ITS, dia
juga sering itikaf malam-malam selama bulan ramadhan. Ketokohan Nuh semakin
lengkap ketika dia tidak kenal lelah masuk keluar masjid di kota Pahlawan untuk
memberikan ceramah dan kotbah Jum’at. Maka tidak mengherankan bila masyarakat
Surabaya memberinya gelar baru bagi Nuh, Kyai Haji.
Ketika Presiden SBY mengangkat Nuh sebagai Menteri Departemen Komunikasi
dan Informasi, banyak pengamat menilainya sebagai “orang yang tepat di saat
yang tepat di posisi yang tepat.” Integritasnya sebagai tokoh tidak perlu
diragukan, kejujuran dan kebersihan hidupnya terpancar dari wajahnya,
kepiawaian dan ketegasan sebagai pemimpin tercermin dari kata-kata dan sikapnya
yang senantiasa konsisten, dan intelektualitas, kompetensi, profesionalismenya
telah dia buktikan dengan karya-karya nyata.
Selama menjabat Menteri Kominfo, Nuh membuat berbagai keputusan-keputusan
berani. Salah satunya tindakannya yang sempat mengundang kontroversi adalah
terkait film Fitna, berani memblokir berbagai situs yang memuat video yang
dianggap melecehkan Islam tersebut. Langkah itu sempat dikecam, “Membunuh rusa
dengan membakar hutan.” Selain itu, dibawah kepemimpinannya, Depkominfo
berhasil menggolkan Undang Undang Informasi dan Transaksi Eletronik (UU-ITE).
Undang Undang ini lagi-lagi mendapatkan kecaman, karena dianggap memasung
kebebasan informasi dalam dunia maya, dimana salah satunya situs-situs yang
berbau pornografi dilarang beredar di Indonesia. Namun The Show Must Go On.
Nuh tetap berpegang teguh kepada suatu misi yang dia emban, yaitu
menyediakan informasi yang bebas dan bertanggung jawab. Karena menurut dia,
Ikon teknologi saat ini bukan pada pabrik atau komputer, melainkan informasi,
karena teknologi dan informasi harus dikemas ‘partner’ untuk menggerakkan
pendidikan, ekonomi, pemerintahan dan sebagainya.
Masyarakat Indonesia patut berterima kasih atas gebrakan Nuh membongkar
praktek bisnis seluler yang terlalu menguntungkan penyedia jasa dan operator,
baik tarif telepon maupun sms. Apakah itu karena dia tahu persis margin biaya
produksi dan biaya jual? Jawabnya: Ya...! Tetapi keputusan itu lebih disebabkan
oleh pribadinya yang jujur dan bersih, integritasnya yang tinggi dan kepedulian
terhadap bangsa dan bukan kepedulian terhadap diri atau kelompok.
Pada pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, Presiden SBY kembali
memilih Muhammad Nuh untuk mendampinginya sebagai Menteri Pendidikan Nasional.
Di pundaknya kini memikul amanah untuk mensukseskan program-program pendidikan
nasional yang transparan, akuntabel dan profesional. Dan untuk itu, Nuh
dituntut untuk mampu mensinergikan seluruh stakeholder di bidang pendidikan
untuk bergerak dan melangkah ke arah dan tujuan yang sama, mencerdaskan
generasi bangsa dan membangun kader-kader penerus pembangunan yang berkarakter.
Mencermati usaha-usaha menuju kemandiran bangsa, Nuh meyakini bahwa
pendidikan bisa diibaratkan seorang ibu yang hamil tua yang akan melahirkan
generasi baru. Dalam kondisi yang normal, kelahiran sang bayi bukan saja sangat
membahagiakan tapi juga sangat dinantikan. Kondisi kesehatan fisik, psikis,
asupan gizi yang baik dan perhatian untuk Ibu hamil harus dijaga agar
melahirkan bayi yang berkualitas.
Di balik prestasi dan titel, suami dari drg. Laili Rachmawati dan ayah satu
puteri Rachma Rizqina Mardholtilah ini tetaplah pribadi yang sederhana dan
bersahaja. Dalam suatu kesempatan, beliau tidak sungkan-sungkan berdialog
dengan para blogger di dunia maya, terkait masalah UU-ITE. Beliaupun masih
sering mengisi khutbah Jumat di berbagai masjid. Bahkan rumah beliaupun masih
rumah bercat coklat yang terletak di Jalan Rungkut Asri Utara, Surabaya Jawa
Timur, sebuah rumah sederhana jika dibanding rumah-rumah di sekitar yang nampak
mewah. “Hidup adalah ibarat sekolah, ada proses
belajar dan ada soal saat ujian. Soal ujian ada untuk dijawab, dan bukan untuk
dijadikan soal baru,” kata Muhammad Nuh saat khutbah Idul Adha 1942 H.
KESEMPATAN MUNGKIN HANYA DATANG SATU KALI
MEMBANGUN ITU SEPERTI MENANAM POHON
PARA PEMIMPIN
**** Sumber: BUKU BIRU BESAR --” INSPIRING TO SUCCES”, Menuju Kemandirian Bangsa, Jejak Langkah 100 Almuni ITS, 2010
KESEMPATAN MUNGKIN HANYA DATANG SATU KALI
MEMBANGUN ITU SEPERTI MENANAM POHON
PARA PEMIMPIN
**** Sumber: BUKU BIRU BESAR --” INSPIRING TO SUCCES”, Menuju Kemandirian Bangsa, Jejak Langkah 100 Almuni ITS, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar