Ia
primadona, cerdas, jelita dan populer. Analisisnya kritis, lugas dan jernih.
Kiprahnya sudah teruji di birokrasi dan lembaga internasional. Kurang dari
empat tahun, tiga jabatan menteri disandangnya, setelah sebelumnya menjadi
konsultan di USAid dan Executive Director IMF. Dia perempuan dan pemimpin muda
berpotensi jadi presiden.
Tiga jabatan menteri yang disandangnya itu baru pertama kali
dipimpin perempuan. Mulai dari Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Bappenas, Menteri
Keuangan dan Plt Menko Perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu.
Presiden menunjuknya sebagai pelaksana tugas Menteri
Koordinator Perekonomian menggantikan Boediono yang terpilih menjadi Gubernur
Bank Indonesia. Dia merangkap jabatan
Menteri Keuangan.
Setahun setelah menjabat Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas
Kabinet Indonesia Bersatu, mantan Executive Director IMF ini dipercaya menjabat
Menteri Keuangan menggantikan Yusuf Anwar dalam reshuffle KIB yang diumumkan 5
Desember dan dilantik 7 Desember 2005.
Sebelumnya, berkali-kali diisukan akan menjadi menteri,
ternyata ia malah go international. Namun setelah menjadi konsultan di USAid,
kemudian Executive Director IMF, dia pun dipercaya Presiden Yudhoyono menjabat
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kabinet Indonesia
Bersatu.
Seusai serah terima jabatan dari menteri sebelumnya, Kwik
Kian Gie, di Gedung Bappenas, Jakarta, Kamis (21/10/2004), Sri Mulyani menjawab
wartawan perihal dirinya yang pernah bekerja pada Dana Moneter Internasional
(IMF), lembaga yang banyak dikecam masyarakat, menjamin tidak akan ada
intervensi dari IMF terhadap kebijakan ekonomi Indonesia.
"Saya ini kan seorang, IMF itu 3.000 orang. Tidak
bisa satu orang membawa kebijakan IMF. Saya juga seorang dari 34 menteri yang
diangkat dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Jadi, programnya saya rasa bukan atas
selera pribadi atau satu lembaga, tapi keputusan bersama," katanya.
Dia menegaskan hanya ingin bekerja, menunjukkan fungsi
Bappenas sebagai wadah konsolidasi dan konsultasi seluruh jajaran kabinet untuk
merencanakan kebijakan pembangunan. Setelah diangkat menjadi menteri, Sri
Mulyani akan meninggalkan jabatannya sebagai Direktur Eksekutif IMF untuk Asia
Pasifik.
Mengenai program dalam waktu dekat, Sri belum bisa
mengatakannya sekarang karena harus berkonsultasi dengan departemen teknis dan
berbagai pihak lainnya.
Menurutnya, ada tiga faktor penggerak pertumbuhan ekonomi,
yaitu fiskal, konsumsi, dan investasi. Jika mengandalkan fiskal, tampaknya
berat karena utang pemerintah masih besar. Selain itu, adanya alokasi subsidi
yang besar juga membuat ruang gerak mendorong pertumbuhan menjadi terbatas.
Dia menegaskan, investasi mutlak dibutuhkan Indonesia saat
ini untuk menyokong pertumbuhan ekonomi. Indonesia tidak bisa lagi mengharapkan
tingkat konsumsi dan kebijakan fiskal sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi.
"Untuk mendorong peningkatan investasi, perlu adanya
perbaikan iklim investasi dan infrastruktur yang memadai. Itu perlu dilakukan
jika pemerintah ingin mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi," kata Sri
Mulyani,
Di sisi lain, pemerintah tidak mungkin terus-menerus
menggantungkan pertumbuhan ekonomi pada konsumsi. Jadi, katanya, untuk memacu
pertumbuhan dengan cara menggerakkan sektor riil dan investasi diperlukan suatu
iklim investasi yang baik. "Agar itu bisa berlangsung lama, diperlukan
stabilitas makro ekonomi," ujar Sri Mulyani.
Mendunia, Sang Ekonom Primadona
Sebelum diangkat menjabat Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Bappenas Kabinet Indonesia Bersatu, dia hijrah ke Atlanta,
Georgia, Amerika Serikat (AS), sebagai konsultan di USAid sejak Agustus 2001.
Kemudian, terpilih menjadi Executive Director Dana Moneter Internasional (IMF) mewakili
12 negara Asia Tenggara (South East Asia/SEA Group). Dia perempuan
pertama dari Indonesia menduduki posisi itu.
Sri Mulyani Indrawati atau akrab dipanggil Mbak Ani, adalah
ekonom yang cantik, luwes, cerdas dan populer. Sejak paruh kedua dekade 1990-an
namanya bisa disejajarkan dengan para selebriti dunia hiburan, akibat seringnya
tampil di panggung-panggung seminar atau dikutip di berbagai media massa.
Komentar dan analisisnya kritis, lugas, jernih dan populer.
Ia primadona panggung seminar dan talk show di televisi kala itu. Selain sering
muncul di seminar-seminar, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI)
ini juga sempat aktif menjadi penasihat pemerintah bersama sejumlah ekonom
terkemuka lain dalam wadah Dewan Ekonomi Nasional (DEN) pada era pemerintahan
Abdurrahman Wahid.
Setelah Megawati menjadi presiden, dia disebut-sebut cukup
dekat dengan Megawati dan sempat menyertai Megawati dalam sejumlah acara.
Bahkan sempat diisukan akan ditunjuk menduduki salah satu posisi penting di
kabinet. Namun, mendadak sejak Agustus 2001, namanya menghilang dari peredaran
di dalam negeri.
Apa pasal? Rupanya anak binaan kesayangan Prof Widjojo
Nitisastro yang lama memimpin Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat
(LPEM) Fakultas Ekonomi UI ini, sejak tanggal 10 Agustus 2001, sudah hijrah ke
Atlanta, Georgia, Amerika Serikat (AS).
Menurut pengakuannya, rencana pindah ke AS sudah lama, dalam
rangka kerja sama dengan lembaga bantuan milik Pemerintah AS, USAid dengan
program otonomi daerah untuk perkuatan institusi di daerah. Yaitu, memberikan
beasiswa S-2 untuk pengajar di universitas di daerah dari Aceh, Kaltim, Sulut,
Papua dan Jawa. Programnya di Amerika memang tadinya hanya untuk satu tahun,
tetapi diperpanjang dua tahun karena tenaganya masih diperlukan untuk
konsultasi pengelolaan program USAid dalam bidang desentralisasi.
Di sana, ibu Dewinta Illinia (13), Adwin Haryo Indrawan
(10), dan Luqman Indra Pambudi (6) dari perkawinan dengan Tonny Sumartono ini,
banyak memberikan saran dan nasihat mengenai bagaimana mendesain program S-2
untuk perkuatan universitas di daerah maupun program USAid lainnya di
Indonesia, terutama di bidang ekonomi. Di samping itu, ia juga mengajar tentang
perekonomian Indonesia dan ekonomi makro di Georgia University serta banyak
melakukan riset dan menulis buku. Bukunya belum selesai. Topiknya tentang
Krisis Ekonomi dan Implikasi pada Pengelolaan Utang Publik.
Seperti halnya di Indonesia, di Amerika ia juga sering
mengikuti seminar, tetapi lebih banyak masalah internasional daripada di
Indonesia. Sangat banyak yang mengundangnya untuk seminar, seperti dari USINDO,
USAid, University of California San Diego, IMF, World Bank Asia Pacific
Department, University of Columbia, Negara Belanda, Minister of Planning, dan
sebagainya. Lupa, saking banyaknya.
Topiknya pun bervariasi, dari economic up date,
desentralisasi dan otonomi, institutional reform, program IMF, governance dan
antikorupsi, masalah konflik di Indonesia dan dunia, dan lain-lain.
Tentang filosofi hidup, ia mengatakan hidup hanya sementara.
Maka kalau bisa ia hanya ingin melakukan yang terbaik dan memberikan yang
terbaik kepada bangsa, negara, agama dan keluarga. Serta ingin menikmati hidup
bahagia, damai dengan diri sendiri dan sekitarnya.
Dalam rangka menikmati hidup berguna dan bahagia ini pula,
ia getol pula mempelajari psikologi. Ia mengaku sudah sangat lama tertarik pada
psikologi. Bahkan dulu ingin masuk fakultas psikologi daripada fakultas
ekonomi, karena senang mempelajari tingkah laku dan sifat manusia. Ia senang
psikologi karena bisa memahami secara lebih baik sifat dan karakternya sendiri
maupun anak-anaknya. Sangat menyenangkan mempelajari bagaimana mereka
berkembang dan berubah seiring dengan usia. So excited dan sangat menakjubkan.
Sementara, menurutnya, ekonomi banyak bicara tentang tingkah laku pelaku
ekonomi, seperti konsumen dan produsen, bahkan juga pemerintah.
Kepribadiannya yang lugas dan cerdas, telah mengantarkannya
kepada pergaulan yang sangat luas. Ia disenangi banyak orang di dalam dan luar
negeri. Tak heran bila pada awal Oktober 2002 lalu ia terpilih menjadi
Executive Director Dana Moneter Internasional (IMF) mewakili 12 negara di Asia
Tenggara (South East Asia/SEA Group), menggantikan Dono Iskandar Djojosubroto.
Dia menjadi perempuan pertama dari Indonesia menduduki posisi itu.
Posisi itu mungkin tak asing baginya karena sebagai ekonom
selama ini ia banyak berurusan dengan IMF, kebijakan IMF, dan dekat dengan
orang-orang IMF. Namun, kesan yang mungkin akan sulit dihindari adalah dengan
jabatannya yang baru ini pula tampaknya ia menjadi tak leluasa lagi mengkritik
keras kebijakan, baik pemerintah maupun IMF.
Sehubungan dengan jabatannya yang baru, penggemar warna
hitam, putih, dan pastel, yang juga menjabat komisaris independen di Unilever
Indonesia dan Astra Internasional, ini harus pindah dari kawasan Dunwoody,
Atlanta bagian utara, yang menjadi tempat tinggalnya setahun terakhir
(2001-2002), ke Washington DC -sekitar 1,5 jam dengan pesawat dari Atlanta.
Sebab sejak 1 November 2002, ia berkantor di lantai 13
gedung markas pusat IMF di 19th Street, NW, Washington DC, Maryland, dengan
jabatan Executive Director IMF. Baginya, jabatan baru ini adalah tanggung jawab
yang harus diemban untuk memenuhi harapan para pemilih dan pendukung, terutama
publik.
Ia merupakan perempuan kedua pada posisi itu, setelah
seorang perempuan dari Thailand pernah menjabat sebelum Dono Iskandar
Djojosubroto. Namun yang jelas, jabatan itu sangat jarang dipegang oleh
perempuan. Dari segi usia, ia tergolong paling muda menjabat Executive Director
IMF itu. Ia akan menjabat untuk masa dua tahun.
Penunjukannya juga di luar kebiasaan. Selama ini sudah ada
semacam kesepakatan antara Bank Indonesia (BI) dan pemerintah bahwa jabatan itu
merupakan hak BI. Sedangkan untuk perwakilan di Bank Dunia hak pemerintah. Tapi
kali ini, ia justru dicalonkan Menkeu. Rupanya BI berkenan melepaskan haknya
untuk mencari orang yang tepat dan paling baik untuk mewakili kepentingan
Indonesia di dunia internasional, terutama IMF.
“Pencalonan saya oleh
Menkeu yang juga bekas Deputi Gubernur BI tentu sudah melalui konsultasi dan
berbagai proses pendahuluan yang mungkin dianggap terbaik untuk kepentingan
Indonesia secara keseluruhan dan bukan kepentingan satu-satu institusi, apalagi
kepentingan perseorangan,” kata lulusan doctor ekonomi dari University of
lllinois Urbana-Champaign, U.S.A (1990–1992) ini.
Ia mengemban tugas mewakili 12 negara anggota SEA Group di
IMF. Tugasnya sebagai executive director terkait dengan pengambilan keputusan
(to execute). Untuk menentukan berbagai program dan keputusan (action) yang
harus diambil IMF. Jadi ia tidak hanya mewakili kepentingan Indonesia. Namun
mewakili kepentingan negara-negara anggota di lembaga IMF maupun forum internasional
yang relevan. Posisi executive director memberinya kekuasaan penuh untuk bicara
dan menyuarakan pemikiran, pertimbangan, maupun keprihatinan negara-negara di
kawasan Asia Tenggara, yang kebanyakan masih dalam kondisi berkembang dan
miskin.
Dengan demikian ia juga mempunyai kewenangan untuk melihat
dan mengevaluasi, baik kondisi perekonomian Indonesia maupun cara operasi dan
prioritas program IMF di dunia. Serta mempunyai banyak kesempatan untuk ikut
memperbaiki orientasi program IMF di banyak negara maupun mengatasi dan ikut
menyelesaikan masalah global, terutama yang berhubungan dengan arsitektur
keuangan dunia, governance, serta berbagai perkembangan dan pembangunan
institusi yang diperlukan negara yang ingin bergabung dalam sistem global yang penuh
risiko dan ketidakpastian.
Dengan jabatan barunya, ia terpaksa meninggalkan pekerjaan
mengajar dan berbagai tugas lainnya termasuk di perusahaan swasta sebagai
komisaris. Karena posisi executive director di IMF adalah pekerjaan full time
dan tidak boleh memiliki keterikatan lain yang bisa menimbulkan konflik
kepentingan.
Banyak orang merasa yakin, bahwa ia akan dapat menjalankan
tugasnya dengan baik di IMF. Sebab selama ini ia dikenal sangat dekat dengan
orang-orang IMF. Namun terlepas dari soal kedekatan secara pribadi itu,
menurutnya yang lebih penting adalah kedekatan institusi. Menurutnya, institusi
IMF memiliki pendekatan cukup baku dengan pemerintahan yang menjalankan
programnya. “Bahwa hubungan pribadi bisa menolong atau membebani program, secara
resmi saya rasa ada standar dan acuan yang baku dalam menilai, mengevaluasi dan
menentukan sikap IMF terhadap negara penerima bantuan program,” katanya.
Mengenai adanya pandangan negatif yang timbul dan tenggelam
di Tanah Air berkaitan dengan keberadaan dan peran IMF di Indonesia, ia
mengatakan, “Sebatas pandangan untuk mencerdaskan bangsa kita dan mendidik
bangsa kita dalam menentukan sikap, saya rasa wajar dan sehat. Yang tidak sehat
kalau pandangan ini berimplikasi pada pandangan dunia internasional terhadap
komitmen dan kesungguhan pemerintah dalam menerima dan melakukan reformasi
ekonomi.”
Sementara tanggapannya terhadap teori atau evaluasi mantan
ekonom Bank Dunia Joseph Stiglitz tentang krisis Asia dan resep IMF yang
dinilai memperparah krisis, seperti terjadi di Indonesia melalui penutupan 16
bank tahun 1998, ia menyarankan lebih baik membaca laporan Independent
Evaluation Office serta perlu melakukan refleksi balik terhadap keputusan yang
diambil saat krisis mulai terjadi tahun 1997-1998.
Menurutnya, kita tidak boleh melupakan seberapa kemungkinan
dan keleluasaan yang dihadapi pemerintah maupun IMF dalam mendesain dan
menentukan program. Kebijakan kontraktif fiskal yang disarankan IMF pada masa
krisis dilandasi pemikiran bahwa pemerintah dalam kondisi memburuk, baik secara
politik maupun secara fiskal, sehingga respons yang harus dilakukan adalah
melakukan penghematan.
Tentu ini akan berakibat pada kontraksi ekonomi yang mungkin
memperburuk baik lapisan berduit maupun kelompok miskin. Dengan pertimbangan
ini, diperlukan kebijakan komplementer untuk melindungi kelompok miskin dan
paling rapuh agar tidak mengalami pemburukan sepanjang krisis.
Namun, ekspansi fiskal jelas bukan tanpa batas. Maka, kalau
dilihat setelah diperbolehkan ekspansi fiskal yang terukur, Indonesia harus
kembali mulai mengetatkan fiskalnya untuk memperbaiki kesinambungan kondisi
anggaran pemerintah.
Ia melihat pendapat Stiglitz dan IMF akhirnya akan bermuara
pada kapan waktu yang tepat untuk melakukan kebijakan makro, fiskal dan moneter,
yang sesuai dengan kondisi dan persoalan yang dihadapi suatu perekonomian.
Perihal rencana Indonesia menghentikan kontrak dengan IMF
akhir 2003, ia mengatakan semua negara ingin segera terlepas dari program IMF,
karena itu berarti negara itu sudah sehat dan mampu berjalan mandiri dan mampu
mendapatkan kepercayaan internasional dalam pengelolaan ekonominya.
Kedaulatan negara dalam pengelolaan ekonomi bertujuan untuk
menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa yang harus diraih dengan kerja
keras, disiplin tinggi, komitmen dan tanggung jawab yang terbukti dan teruji
dalam proses waktu dan dalam berbagai episode, berbagai kesempatan dan
kejadian.
Secara teknis, ekonomi bisa dilihat dan dihitung dari
kondisi fiskal, neraca pembayaran dan moneter untuk menentukan apakah keputusan
memutuskan program IMF tahun 2003 memang baik dan tepat bagi Indonesia.
Namun, katanya, bila keputusan itu sudah dilakukan secara
politik dan tidak melalui proses kalkulasi teknis yang teliti dan hati-hati,
artinya Indonesia harus kerja ekstra keras untuk bisa menghindari situasi yang
tidak baik pada tahun 2003.
Artinya mulai sekarang pemerintah, DPR, dan lembaga
yudikatif harus kerja keras agar tahun 2003 kondisi fundamental kita memang
makin kuat dan membaik sehingga keputusan politik itu bisa terjadi dan
terealisir tanpa menimbulkan risiko bagi rakyat.
BERBAKTI KEPADA ORANG TUA
BERANILAH BERMIMPI DAN KEJARLAH MIMPI ITU
MEMBANGUN ITU SEPERTI MENANAM POHON
PARA PEMIMPIN
BERBAKTI KEPADA ORANG TUA
BERANILAH BERMIMPI DAN KEJARLAH MIMPI ITU
MEMBANGUN ITU SEPERTI MENANAM POHON
PARA PEMIMPIN
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar