Drs. H Jamun, MPd.I
(Kabid Mapenda
Kanwil Kemenag Provinsi Jawa Tengah)
Jamun memang benar-benar anak desa. Ia dilahirkan di desa Purwodadi,
Kecamatan Patimuan, Kabupaten Cilacap. Dia adalah anak keempat dari lima
bersaudara yang lahir dari pasangan Sansuwardi dan Jayem pada tanggal 4 Januari
1962. Keempat saudaranya yang lain tinggal
di desa, jadi petani dan wiraswasta. Tahun 1977 Jamun menamatkan
pendidikan SD di desanya.
Berkaca pada kehidupan di desa yang umumnya bertani, buruh dan tukang deres
kelapa, Jamun kecil sudah mikir rasanya tidak bisa hidup seperti itu. Karenanya
diam-diam dia menyimpan tekad untuk bisa sekolah setinggi mungkin. Tapi
cita-cita itu terhalang oleh sikap tradisional orang tua yang ingin agar Jamun
belajar mengaji saja tidak usah sekolah. Jamun tidak membantah dhawuh dari orang tua yang paling
dihormati itu. Tapi batinnya bergolak sembari ngotak-atik, cara agar ibu
tidak marah bila pamit mau meneruskan ngaji di pesantren. Benar juga, biar
awalnya sempat kaget tapi akhirnya ibu mengijinkan pergi ke PP Raudhorut
Tholibin di desa Sirau, Kemrajen, Kab Banyumas. “Kalau ngaji saja disini kan
bisa nak, tidak jauh-jauh,” kata ibunya. Yang dijawab Jamun, ya kalau disini
saja nantinya sih tidak melanjutkan dan lagi di pesantren ngajinya lebih maju.
Kenapa Jamun memilih pesantren di Sirau yang jaraknya 150 km dari desanya?
Dia mendapat kabar bahwa pesantren Raudhotut Tholibin Sirau yang diasuh KH
Ubaidi Usman santri tidak hanya belajar ngaji saja tapi bisa masuk sekolah atau
madrasah. Sebab pesantren itu juga memiliki lembaga pendidikan formal dari MI,
MTs dan MA, maka dia langsung masuk Tsanawiyah. Selang tiga tahun di MTs, Jamun
melanjutkan ke Aliyah. Beruntung sejak
masuk di pondok pesantren, dia diterima khidmah
dalam keluarga Kyai. Itu
berarti dia menjadi santri gratisan yang
tidak perlu repot dalam urusan makan dan akomodasi. Di pesantren lain status
santri yang bebas uang syariyah seperti itu biasanya disebut sebagai santri bilaa syartin.
Lalu bagaimana bayar SPP? Keberuntungan berpihak pada Jamun sebab selama
belajar di MTs hingga MA selalu bebas SPP karena meraih ranking pertama. Bahkan
ada hadiah buku-buku pelajaran. Kiriman ibu tiap bulan ditabung. Hebat!
Biasanya anak seusia dia jika pegang uang akan dipakai suka-suka, tapi tidak
untuk Jamun. Dia mulai berpikir keras agar kelak bisa melanjutkan kuliah tanpa
membebani orang tuanya. Ini menarik sebab ternyata dia seorang anak yang
tergolong cerdik, tekun, disiplin plus banyak akal. Tabungan diambil dan dibelikan
4 ekor ayam babon, dititipkan tetangga sekitar pesantren dengan sistem bagi
hasil. Dalam beberapa waktu, ayam itu telah berkembang menjadi 27 ekor babon.
Selama kuliah Jamun juga bebas karena bantuan Supersemar. Beasiswa Rp 30.000/
bulan padahal bayar kuliah 1 semester hanya Rp 27.000,- saja.
Sebegitu jauh orang tua tidak tahu kalau anaknya yang nyantri di pondok pesantren
Sirau itu sambil sekolah. Maka betapa kagetnya sang Ibu ketika tahu kalau
anaknya yang ngaji juga menjadi murid madrasah. Nampak perasaan ibu campur
bawur antara kaget, heran dan bangga. Apa komentarnya? Dia bergumam, “Lha njur beayane sekolah keprimen, wong
inyong ngirimi aben wulan ya mung semending”. Lalu soal biaya bulanan bagaimana, sebab
kiriman dari ibu tiap bulan kan hanya sedikit. Agar ibu tak berkepanjangan
memikir, Jamun yang kini sudah semakin dewasa segera menenangkan ibunya,” Itulah sebabnya bu, saya selalu hidup
prihatin di pesantren, yang kami mohon hanyalah doa ibu agar saya selalu
diberikan kekuatan lahir batin oleh Allah SWT sehingga ananda berhasil meraih
cita-cita.”
Saat mulai belajar di Madrasah Aliyah sebagian ayam bagi hasil dijual dan
dibelikan 4 ekor kambing. Seperti halnya ayam, pemeliharaan kambing itu juga
dititipkan warga di sekitar pesantren dengan sistem gaduh. Lulus dari Aliyah
tahun 1984, dia langsung mendaftarkan kuliah di Fakultas Syariah IAIN Sunan
Gunung Jati, di Bandung. Dia sudah tidak
bingung lagi soal biaya karena ditopang dari uang hasil penjualan kambing dan
ayam. Semua berjalan mulus bahkan program Sarjana ditempuh dalam waktu 4 tahun
2 bulan, tercepat dengan IP 3,00. Setelah jadi asisten dosen selama semester
akhir. Dia menolak tawaran menjadi dosen karena harus pulang ke desa bantu
istri ngurus tokonya.
Pada awalnya Jamun yang menikahi Zubadiayah, yang juga santriwati Pondok
Pesantren Sirau masih konsisten dengan cita-citanya untuk bisa terus sekolah. Gantungkan cita-citamu di atas bintang
Tsuroya! Begitu semboyan yang memotivasinya. Hingga saat itu dia sama
sekali belum ingin menjadi PNS. Apalagi dirinya merasa tidak punya akses dan
koneksi. Karena itu pikiran untuk menjadi birokrat dia lempar jauh-jauh,
menurutnya itu keinginan yang mustahil. Minat untuk menjadi PNS makin menjauh
ketika usaha tokonya yang dirintis di desa ternyata berkembang. Kecuali
melayani sembako, juga meyediakan semua kebutuhan lain seperti pupuk urea, BBM,
obras, mesin jahit dan lainnya.
Wajar jika tiap kulakan ke kota mesti pakai angkutan truk, saking banyaknya
komoditas yang diangkut. Omsetnya usaha sudah mencapai Rp 350.000,- per hari.
Ketika tengah menikmati derasnya rezeki Tuhan lewat wiraswasta, keluarga Jamun
terusik oleh gunjingan orang. Begini kata mereka “Jamun, sekolah dhuwur-dhuwur kok mung dodolan. Inyong sing ora sekolah sih
teyeng.” Gunjingan itu didiamkan begitu saja toh nanti akan hilang sendiri.
Tapi di telinga kaum ibu lain, suara itu bikin gerah dan jadi beban moral sebab
menyangkut soal martabat. Apalagi kenyataan di desa saat itu status PNS, mantri
guru punya status sosial tersendiri.
Untuk meredam gunjingan orang lain untuk sementara, Jamun melamar dan
diterima jadi guru SMP Diponegoro Patimun. Diminta jadi kepala sekolah menolak,
katanya bukan itu tujuannya. Honornya Rp 12.000,- tiap bulan dibayar tiap satu semester.
Seketika itu dia beli sepatu, baju seragam termasuk baju KORPRI yang biasa
dipakai guru PNS tiap Senin dan tanggal 17. Trik ini berhasil. Ketika pulang naik sepeda motor seragam KORPRI, orang orang
bilang, nah sekarang Jamun sudah jadi mantri Guru. Biarpun begitu hatinya belum
plong. Apalagi juga ada suara yang bilang Jamun kan belum jadi PNS kok pakai
baju KORPRI. Kasus ini makin menekan tekadnya untuk bisa menjadi PNS betulan
dan juga KORPRI sungguhan.
Tahun 1990 ada kabar penerimaan Capeg Depag, maka Jamun langsung
mendaftarkan diri dan mengikuti testing di Semarang. Tanggal 1 Maret 1991 turun
blesit CPNS dan ditugaskan di Staf Seksi Urais Kantor Depag Kabupaten Cilacap.
Sejak saat itu Jamun kos di Cilacap, sementara istrinya tetap ngurus bisnis di
desa. Baru beberapa waktu kemudian keluarga Jamun menetap di Kota Cilacap. Bulan November 1992 mengikuti
prajabatan sebagai syarat untuk diangkat sebagai PNS penuh pada tahun 1993.
Enam tahun dia putar-putar beralih tugas di lingkungan Kantor Depag Cilacap.
Saat menjabat sebagai Ka Subbag TU selama tiga tahun, dia mendapat SK sebagai
pelaksana tugas dari dua jabatan sekaligus. Yaitu PLT Kasi Gara Haji dan Umrah,
serta PLT Kepala Kandepag Kab. Cilacap.
Selang satu minggu dia bertugas sebagai PT kepala Kandepag Cilacap, dia
harus pindah ke Banjarnegara sejak 8 Februari 2007 Jamun dilantik sebagai
Kepala Kantor Kabupaten. Hanya dua tahun
memimpin Depag Banjarnegara, sebab sejak 1 Februari 2009 tenaganya dibutuhkan
untuk jabatan yang sama di Kab Temanggung.
Ketika menduduki Kepala Kandepag Kab Temanggung lagi-lagi dia dipercaya
sebagai PLT Ka Kandepag Kab Magelang yang koson karena pejabatnya pensiun.
Sampai akhirnya jabatan itu harus ditinggalkan karena pada 11 November 2010 dia
dilantik sebagai Kabid MAPENDA Islam.
Jamun memang tergolong aktivis, sejak di Sirau dia sudah menjadi Lurah
Pondok disamping juga ketua IPNU, Ketua IKMA, dan Ketua PPRT. Di kampus IAIN
SGD dia juga terpilih Ketua SEMA Fak Syariah dan Ketua PMII setempat. Selama
dua tahun mondok di PP Al Jawami Ciulengsi Bandung, dia diangkat sebagai Lurah
Pondok Pesantren. Di masyarakat dia pernah menjadi Ketua Ranting NU Patimuan
dan terakhir sebagai Pengurus JPHI Kabupaten dan Wakil Ketua PCNU Cilacap.
Pengalaman organisasinya itu menyebabkan Jamun tidak kaget saat masuk di
Kanwil Kemenag Jateng diberi tugas untuk menjadi ketua panitia HAB Depag ke 65
dan Tim Penanggulangan Bencana Alam Gunung Merapi. Sebagai Ketua Tim dia
bersama rombongan datang ke Magelang, Boyolali dan Klaten untuk menyerahkan
bantuan uang sebesar Rp 337,- juta yang berasal dari infag karyawan di
lingkungan Kanwil Kemenag Jateng. Bantuan itu diberikan dengan besaran
bervariasi untuk Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Klaten.
Dari perkawinan dengan Hj Zubaidiyah, SPd yang juga PNS sejak 1993, Jamun
dikarunia 2 orang anak, yaitu Wida Nurul Azizah yang hampir wisuda di Fakultas
Saintek UNI Yogyakarta dan Wiska Habiburrohman Efendi.
BERBAKTI KEPADA ORANG TUA
KESEMPATAN MUNGKIN HANYA DATANG SATU KALI
MEMBANGUN ITU SEPERTI MENANAM POHON
PARA PEMIMPIN
BERBAKTI KEPADA ORANG TUA
KESEMPATAN MUNGKIN HANYA DATANG SATU KALI
MEMBANGUN ITU SEPERTI MENANAM POHON
PARA PEMIMPIN
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar