Drs. H Ahmad Ubaidi, MSi
(Kepala Kantor
Kemenag Kab. Tegal di Slawi)
Sebuah pepatah, “Khudz al-hikmati walau min ayyi wi’ain kharajat.” Ambilah
hikmah (pelajaran) biar dari manapun datangnya.
Begitulah, setiap kali membaca
perjalanan hidup seseorang pasti akan kita temui poin-poin berharga yang bisa
diambil sebagai pelajaran. Bila kita cermati hal itu ada benarnya, sebab dari
para tokoh atau pejabat yang ditampilkan biasanya memilik bakground yang
bermacam dan otomatis dengan pengalaman hidup yang berbeda.
Namanya Ahmad Ubaidi, dan panggilan karibnya Ubed atau Mas Ubed. Dia lahir
di desa Salakbrojo, Kecamatan
Kedungeuni, Kabupaten Pekalongan pada tanggal 3 Oktober 1958 dari pasangan
Syamuri dan Atijah. Menurut ilmu sharaf Ubaidi berarti hamba yang kecil, orang
tuanya memberikan nama itu mengandung doa agar anak kesayangannya itu rumangsa kecil dan tidak merasa besar. Lebih baik
merasa kecil tapi mampu berbuat besar daripada sebaliknya, kata Ubed.
Ubed adalah anak ketiga dari 11 bersaudara, tapi yang masih hidup 10 orang,
terdiri dari 6 putra dan 4 putri. Sebagai anak laki-laki tertua, ayah berwasiat
pada Ubed agar jangan cepat-cepat menikah. Lha kok? “Iya pokoknya adikmu
disekolahkan dulu.” Kata ayah suatu ketika. Memenuhi wasiat ayah, maka Ubed
telah berusaha untuk berfungsi sebaik mungkin sebagai orang tua sekaligus guru.
“Dan alhamdulillah adi-adik nurut (patuh) semua, saya bangga kepada mereka,”
kata Ubed. Mereka prihatin, salah seorang adiknya pergi kuliah naik sepeda
onthel 25 km hingga sarjana. Dia juga bersyukur
karena keempat saudara prianya semua menjadi PNS. Sementara yang putri
kebanyakan bisnis konveksi dari batik, tapi ada juga yang jadi petani. Ubed
sukses memimpin adik-adiknya. Sebagai konskuensinya Ubed harus rela disalib
adik-adiknya untuk menikah lebih dulu. Ubed menikah dengan Hj Malikhah, SH pada
tanggal 4 April 1993.
Ahmad Ubaidi dilantik sebagai Kepala Kantor Kementrian Agama Kabupaten
Tegal di Slawo pada tanggal 25 Juli 2011. Sebelumnya dia menjabat sebagai Kasi
Mapenda Kantor Kemenag Kabupaten Pekalongan. Ketika memotivasi para pegawai
kantor isinya mirip seperti yang disampaikan kepada adik-adiknya. Pertama agar
setiap menerima apapun pekerjaan (apa saja) yang dipercayakan kepada kita hendaknya
diniati dengan nawaitu ibadah. Pekerjaan yang kita tangani secara profesional
dengan niat ibadah, akan selalu hati-hati dan terkontrol, terasa enak dan tanpa
beban. Kita jangan mudah marah kepada anak buah atau kepada murid ketika
menjadi guru. Ubed menjelaskan tidak pernah meminta jabatan. Sebab yang seperti
itu memang tidak boleh dilakukan. Dia bahkan beberapa kali menolak ketika
ditawari menduduki satu jabatan. Ubed mohon untuk diberikan kepada teman yang lain dulu, tetapi setelah
tiga kali memintanya maka Ubed tak mampu menolak. Barangkali dari indikasi
beberapa sikap Ubed itulah maka teman-temannya di kantor menjuluki dia sebagai
pegawai low profile. Kalau bahasa
santrinya tawadhu’ atau rendah hati, bukan rendah diri.
Juga ada ngilmu Jawa yang ikut mewarnai sikap Ubed ketika memberi nasehat
kepada orang lain. Menurutnya dalam praktik kecuali harus menahan emosi, juga
harus mampu menyesuaikan dengan strata
yang akan dinasehati agar butir-butir nasehatnya bisa jatuh ke tanah yang
subur. Dia ingat betul ketika seorang tua dengan bahasa Jawa memberi nasehat
kepadanya. “Ngandani wong iku ana undha
usuke”, menasehati orang itu ada tingkatannya. Tidak bisa disamaratakan
atau di gebyah uyah. Ada tiga tingkatan, yang pertama Esemantri,
Kedua Semu Bupati dan ketika Dhupak Bujang. Misalnya jika saja orang yang
datang terlambat, jika dia orang tua atau punya jabatan maka dilihat dengan
senyum saja sudah mudheng. Untuk level kedua perlu nasehat, sedang Dhupak
Bujang untuk mereka yang tidak mudah memahami bahasa sanepo, jadi agak vulgar.
Karena tertarik pada nilai luhur itu, Ubed mengaku tidak sampai menanyakan
apa arti ketiga kata mutiara tersebut. Yang jelas maknanya sangat bagus dan
Islami. Pesan dari si orang tua jangan sampai salah pasang atau dibolak balik.
Sebab kalau salah pasang bisa fatal akibatnya. Misalnya dengan orang yang
tingkatannya tinggi kok menggunakan Dhupak Bujang, akibatnya bisa berantem,
tidak membawa maslahat tapi mafsadat. Jika dikaitkan dengan ilmu komunikasi,
maka agar pesan bisa sampai kepada pendengar/komunikan dengan benar maka harus
ada frame of reference antar komunikator dan komunikan.
Ubed kecil menyelesaikan pendidikan
MI di desa Salakbrojo, 3 km dari Kedungwuni arah timur. Dulu punya obsesi untuk
bisa sekolah sambil ngaji di pesantren. Itulah sebabnya ketika melanjutkan
sekolah PGAN 4 th, Ubed tinggal di PP Grogolan, Pekalongan yang diasuh KH
Dimyati. Setelah tamat PGAN 4 th pada tahun 1975, Ubed melanjutkan PGAN 6th
yang diselesaikan pada tahun 1977. Sarjananya diperoleh di Falkutas Tarbiyah
PAI IAIN SGD Cirebon tahun 1992. Sedang untuk S2 diperoleh di Universitas Darul
Ulum Jombang. Diterima sebagai PNS pada
1 Maret 1979 sebagai guru agama MI di Kota Pekalongan, lalu pindah ke Kabupaten
Pekalongan. Prestasinya mengantarkan dia terpilih sebagai karyawan teladan saat
menjadi Staf Urais dan terulang kembali ketika menjabat sebagai Kasubsi.
Ada yang lucu terkait kepindahan
Ubed dari Kemenag Kota ke Kabupaten Pekalongan. Sebagai pegawai negeri baru,
dia memang belum tahu sama sekali alur pengangkatan dan mutasi seorang pegawai.
Dulu, ketika pertama kali daftar PNS, Ubed mendaftarkan diri di Kantor Kemenag
Kabupaten Pekalongan. Ketika menerima blesit pengangkatan sebagai PNS, bunyinya
ditugaskan sebagai Guru Agama MI di Kemenag Kota Pekalongan. Dia terkejut
membaca surat penugasannya, bahkan menduga ada yang salah. Sebab tempat
tugasnya tidak sama dengan tempat mendaftarkan. “Mengapa kota Pekalongan bukan
Kabupatennya? Padahal saya mendaftarkan
menjadi PNS itu di Kabupaten Pekalongan, bukan di Kota.” Begitu
pertanyaan dalam hati.
Kemelut di hati Ubed itu akhirnya disampaikan ke Kasubag TU Kota
Pekalongan, H Zarkasyih. Lucunya lagi lain pak Zarkasyiah lain Ubed. Pak
Zarksyiah mengira kalau Ubed minta pindah ke Kabupaten tidak mau di kota.
Karena itu dengan kalem Pak Zaekasyiah menjelaskan SK itu sudah benar, tidak
salah. Jadi kalau Pak Ahmad Ubaidi mau pindah ke kabupaten itu gampang, nanti
bisa dibantu dan diuruskan. Padahal sebenarnya Ubed cuma mau konfirmasi saja
dan bukan mau pindah. Wong dia merasa belum paham tentang lika-liku birokrasi.
Tapi nampaknya Pak Zarkasyiah tetap pada keyakinannya bahwa Ubed memang minta
pindah, dan proses usulannya berjalan. Akhirnya jadilah SK pindah Ubed ke
Kemenag di Kabupaten Pekalonga, sampai akhirnya dipercaya menjadi Kakan Kemenag
Kabupaten Tegal di Slawi sampai sekarang. Biasanya setiap jam 6.15 sudah tiba
di kantor, lalu menemui tukang sapu dan tukang kebun lalu shalat dhuha. Awalnya
teman-teman di Slawi heran, tapi alhamdulillah sekarang sudah mau menyesuaikan.
BERBAKTI KEPADA ORANG TUA
BERANILAH BERMIMPI DAN KEJARLAH MIMPI ITU
MEMBANGUN ITU SEPERTI MENANAM POHON
PARA PEMIMPIN
BERANILAH BERMIMPI DAN KEJARLAH MIMPI ITU
MEMBANGUN ITU SEPERTI MENANAM POHON
PARA PEMIMPIN
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar