Ir.
Djuwono Hadi Santoso,MSi
(Kepala
Bappeda Kabupaten Bondowoso, 2009-)
Sebagaimana mantan aktivis kampus
Lainnya Djuwono merasakan benar manfaat dari keterlibatannya dalam pergerakan
mahasiswa selain keberanian menghadapi tantangan, kemampuan komunikasi publik
dan lobi lobi terasah dan menjadi modal
berharga dalam meniti karirnya.
Lahir di surabaya, 27 september
1957, Djuwono dibesarkan dalam keluarga yang sederhana. Ayahnya, Slamet Imam
Santoso, adalah seorang purnawirawan TNI AL. Ibunya, almarhumah Hj. Nanik
Tuminah adalah wanita yang ulet dan sanggat disiplin dalam mendidik anak, yang
rela menjual apa apa yang di miliki untuk membiayai anak-anaknya. Karena
kehidupan keluarganya pas pasan, semasa SD sampai SMP, Djuwono rela berjualan
koran di stasiun Gubeng Surabaya. Semasa SMA, untuk terus meringankan beban
orang tua, dia membuat dan menjual layang- layang.
Diterima di Fakultas Teknik Sipil
ITS tahun 1976 Djuwono lebih sering tinggal dan tidur di kampus ITS Manyar.
Kampus penuh dengan kenangan. Sebagai aktivis, keterlibatannya dalam pergerakan
mahasiswa kala itu sering kali membawanya berurusan dengan Poltabes Surabaya
dan Kodam VIII Brawijaya.
Ada kisah menarik dia ceritakan.
Di depan kampus ITS Manyar, ada rumah
sakit jiwa dan seringkali beberapa pasien lepas berkeliaran di depan kampus.
Tidak peduli laki atau perempuan, Djuwono menangkap mereka dan menggiring balik
ke rumah sakit. Karena begitu seringnya, sehingga dia jadi akrab dengan pegawai
rumah sakit. Di rumah sakit itu, dia belajar bagaimana mendeteksi tingkat
kesehatan pasien.
Suatu ketika, saat ngobrol di
kampus, almarhum Pak Santo yang kala itu menjabat PR III, mengkomentari Djuwono
sebagai “Dokter Gendeng”. Mereka terusik, Djuwono pun menjelaskan pengalamannya
dengan penuh semangat. “Ini serius,” kata Djuwono “untuk mendeteksi tingkat
kesehatan pasien. Bila disodorkan buah mangga, pasien menjawab jeruk--- maka
itu berat dan dosis obatnya perlu ditambah. Kalau disodorkan buah jeruk, pasien
menjawab jeruk---dosis obatnya dikurangi. Jadi semakin sulit pertanyaan dan
makin tepat jawaban pasien, maka dia semakin baik kondisi jiwanya.”
Setelah agak lama berdiam,
Djuwono pura pura tidak tahu dan bertanya dengan nada serius kepada pak Santo
mengenai campuran sop yang berwarna
putih. Pak Santo menjawab, ”Makaroni.” Djuwono berteriak, ”Lulus! Sampeyan waras, Pak!” Suasana hening pun pecah
menjadi gelak tawa. Hikmahnya pak Santo sebagai PR III merekomendasikan kepada
Ibu Endah yang menjabat psikolog untuk merekrut Djuwono sebagai asisten
pembantunya. “Alhamdulillah”, kata Djuwono, “Saya dapat honor”
Kisah menarik lainnya, Djuwono
dengan setia membantu Pak Ashari, kepala Dinas PU Jawa Timur yang menjadi dosen
luar biasa; mengambilkan kapur, menghapus papan tulis dan lain-lain. Tidak
disangka, pak Ashari memberikan seluruh honornya untuk Djuwono. Pada saat-saat
terakhir sebagai dosen, ketika hendak masuk mobil hardtopnya, pak Ashari
bertanya, “Dju, besok kalo kamu bekerja, siapa orang yang paling kamu hormati?”
Djuwono menjawab tegas, “Pemimpin Pak!” Sambil menutup pintu mobil, Pak Ashari
bilang ,”Salah!” Karena penasaran ketika
ada kesempatan Djuwono meminta penjelasan,”Kalau pemimpin itu wajib kamu
hormati, Dju. Kalau orang yang paling kamu hormati adalah tukang sapu. Kenapa?
Tukang sapu itu sore hari membersihkan kantor, seluruh sudut dan celah kantor
dia bersihkan. Apapun yang ada di meja kerja kita, yang di rak, yang dilaci,
dimanapun dia tahu. Sore hari ada surat datang, dia yang terima, ditaruh di
meja TU, pagi ditaruh di meja pemimpin, baru jam 8 surat itu dibuka.”
Wejangan pak Ashari tersebut
menancap dalam relung hati Djuwono, yang dia terapkan hingga kini. Dan karena
menghormati tukang sapu, Djuwono banyak dibantu oleh tukang sapu selama kuliah
di ITS.
Setelah lulus ITS tahun 1982,
Djuwono bekerja pada PT Dwi Satrya di Kendari, Sulawesi Selatan. Merasa kurang
pas, dia pulang ke Surabaya dan bekerja di PT Indah Karya sebagai Design
Engineer untuk perencanaan saluran irigasi. Masih pada tahun 1982, Djuwono
diterima di PT Adhi Karya Surabaya sebagai site engineer dalam proyek
pembangunan PT PAL. Setelah pembangunan PT PAL selesai, dia ditugaskan di ke Tamahera Makassar untuk pembangunan gedung
sains dan teknologi Universitas Hassanudin. Kembali ke Surabaya pada tahun
1986, dia ditunjuk oleh PT Indoko menjadi pelaksana pembangunan Gardu Induk PLN
Malaya Nganjuk. Selain berkarya dibidang
profesi, Djuwono juga sempat berkarir dibidang pendidikan selaku Dekan Fakultas
Teknik Sipil dan Mesin Universitas Ekashabakti Surabaya (1982-1983).
Atas saran dan dorongan Ir
Chaerul Djaelani, Djuwono memantapkan hati untuk merintis karir sebagai pegawai
negeri sipil. Dan pada tahun 1986, dia resmi menjadi PNS dan ditempatkan di
Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya di Banyuwangi. Setahun di Banyuwangi dia
ditunjuk sebagai staf di BAPPEDA Provinsi Jawa Timur. Disinilah Djuwono mulai
berinteraksi secara aktif dan banyak menimba ilmu serta pengalaman dari para
alumni senior ITS di lingkungan Pemprov
Jatim, diantaranya Ir. Mustikad Astari, Ir. Syamsul Bakri dan Ir. Mukayat.
Petuah-petuah Ir Chaerul Djaelani mampu
membangkitkan semangat dan kepercayaan diri untuk bekerja secara fokus dan
sungguh-sungguh, amanah dan bertanggung jawab.
Pada tahun 1991, Djuwono mulai
mendapatkan kepercayaan sebagai kepala
seksi Pengairan BAPPEDA Jawa Timur. Masih di BAPPEDA, dua tahun kemudian dia
ditunjuk sebagai Kepala Seksi Pendidikan, pemerintah dan Mental Spiritual
hingga tahun 1995.
Atas dorongan dan dukungannya
kala itu, Ir Sukur Harianto (Kabid Sosial Budaya BAPPEDA), dan juga usulan
Bupati Bondowoso Kolonel (art) Agus Saroso kepada Gubernur Basofi Sudirman, Djuwono
diangkat sebagai Kepala Dinas PU Bina Marga Kabupaten Bondowoso, Djuwono
mengabdikan sepenuhnya kemampuan dan keahliannya untuk membangun institusi PU
yang solid untuk merealisasikan tugas-tugas yang diamanahkan.
Tahun 2004, dia diangkat menjadi
Asisten Ekonomi dan Pembangunan Setda Kabupaten Bondowoso. Setahun kemudian,
dia dipercaya sebagai Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Dan tahun
2009 dia diangkat menjadi Kepala BAPPEDA Kabupaten Bondowoso.
Jabatan-jabatan strategis di
lingkungan Kabupaten Bondowoso membuat Djuwono merasa tertantang untuk memberikan sumbangsih terbaiknya. Pengalaman sebagai aktivis,
diakuinya banyak mendukung kinerjanya--- khususnya adalah hal lobi-lobi dan
komunikasi publik.
Untuk mensukseskan
program-program pemerintah, Djuwono tidak kenal
lelah membina hubungan baik dengan para ulama berpengaruh dan
tokoh-tokoh masyarakat lainnya, keluar masuk pondok-pondok pesantren dan
masjid-masjid. Dari para ulama dan tokoh masyarakat inilah, dia banyak
memperoleh masukan selama mensosialisasikan program-program pemerintah. Dan
pada gilirannya, progam-program pembangunan pun memperoleh dukungan yang
signifikan. Selain itu, Djuwono juga banyak melakukan lobi-lobi, baik di
tingkat pemerintahan provinsi maupun pemerintahan pusat, dalam rangka
memperoleh dukungan terhadap program-program pembangunan di daerahnya.
Sebagaimana
biasa ditemukan di instansi-instansi lain, Djuwono juga mengakui bahwa kadang
terjadi perbedaan cara pandang dengan pimpinannya dalam menentukan
program-program prioritas.
Tetapi dia menegaskan bahwa semua instansi, apapun bentuknya akan mampu
bergerak dan bekerja secara maksimal bila bersatu dan solid--- layaknya sebuah
tim sepakbola. Maka dia tetap menjunjung loyalitas dalam melaksanakan berbagai
tugas-tugas yang diamanahkan.
Selain sebagai pejabat
pemerintah, Djuwono juga aktif di bidang pendidikan untuk pengembangan sumber daya
manusia di wilayahnya. Tahun 2000 dia dipercaya sebagai Dekan Fakultas Teknik
Sipil Universitas Bondowoso, yang berperan melobi dan membangun kerjasama
dengan ITS Surabaya. Dan mulai tahun 2004 hingga sekarang, Djuwono diangkat
sebagai Pejabat Rektor Sementara Universitas Bondowoso.
Menyikapi wacana membangun
kemandirian bangsa, Djuwono berpendapat bahwa itu akan dapat diwujudkan apabila
pembangunan SDM melalui pendidikan benar-benar dilaksanakan dengan baik. Tanpa
SDM yang kompeten dan profesional, cerdas dan berdaya saing, bangsa ini akan
sulit berdikari. Dengan pendidikan yang berkualitas dan berpihak pada rakyat
kebanyakan, maka karakter bangsa akan terbentuk ---karakter bangsa yang
mandiri, jujur dan akuntabel, disiplin dan amanah.
Suami Hj Sri Rahayu Siswaningsih
dan ayah dari tiga orang putri--- Ari Santi, Ari Aswezni dan Ari Suryantina---
Djuwono mengaku menjalani hidup bagaikan air yang mengalir, ikhlas dan berserah
diri pada Allah SWT, belajar pada siapapun dan mengambil hikmah dari apapun.
Yang demikian tercermin pada untaian kalimat yang dia tulis pada lembar
questioner yang kami kirim.
Berterimakasihlah
kepada orang yang telah mencelakai kita, karena dia telah melatih kegigihan
kita
Berterimakasihlah kepada orang
yang telah menipu kita, karena dia telah menambah pengalaman dan wawasan kita.
Berterimakasihlah kepada orang
yang telah mencambuk kita, karena dia yang telah membuat kita berlari kencang.
Berterimakasihlah kepada orang
yang telah meninggalkan dan mencampakkan kita, karena dia telah mendidik kita
untuk mandiri.
Berterimakasihlah kepada orang
yang telah menyalahkan kita, karena dia telah mendidik kita untuk mandiri.
Berterimakasihlah kepada orang
yang telah memarahi kita, karena dia telah membantu menumbuhkan ketenangan dan
kebijaksanaan kita.
Berterimakasihlah kepada semua
orang yang telah membuat kita kuat, kokoh dan berhasil
BERBAKTI KEPADA ORANG TUA
BERANILAH BERMIMPI DAN KEJARLAH MIMPI ITU
MEMBANGUN ITU SEPERTI MENANAM POHON
PARA PEMIMPIN
BERBAKTI KEPADA ORANG TUA
BERANILAH BERMIMPI DAN KEJARLAH MIMPI ITU
MEMBANGUN ITU SEPERTI MENANAM POHON
PARA PEMIMPIN
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar