Prof. Dr. Damardjati Supadjar
(Guru Besar UGM Yogyakarta)
Saya lahir pada 31 Maret 1940 di lereng Gunung Merbabu
di desa Nawangsari yang pernah menjadi pasukan Pangeran Diponegoro. Belakangan
baru saya ketahui bahwa saya ini keturunan prajurit Diponegoro dari pasukan
Wirapati. Genap usia tujuh tahun saya mengalami aksi Polisionil I atau kalau
menurut kita, Perang Kemerdekaan. Pada tahun 1947 itu saya sudah bisa
membedakan mana mortir Pas Sarwo Edie Wibowo dan mana mortir Belanda. Sebab
mortir Pak Sarwo Edi itu jika ditembakkan dung....siuuuuut, blek tapi nggak
meledak. Namun kalau mortir Belanda ditembakkan meledak dan pecah menjadi tiga
kali.
Waktu kelas 6 SD saya pernah jatuh cinta kepada anak
kelas 4, namun jatuh cinta yang wajar. Jika saya ke kota saya akan membeli
oleh-oleh peruncing pensil, kalau sudah dijodohkan senangnya minta ampun. Lalu
ibu marah dan saya dimarahi di depan umum, ’Kamu ini sekolah saja dulu’ kata
Ibu. Akhirnya dari SMP, SGA hingga kuliah saya belum tergerak. Sampai akhirnya
gedang kepok, gedang ijo, maune mondok malah dipek bojo. (pisang kepok pisang hijau,
maunya mondok malah diambil menantu).
Sebenarnya saya masuk SGA di luar rencana
saya. Mulai dari kecil, otak saya cukup encer untuk mengikuti pelajaran di
sekolah. Bahkan ketika masih SD, saya sempat naik kelas dua tingkat. Kemudian
SMP saya dibebaskan dari biaya sekolah. Waktu selesai SMP saya bermaksud masuk
SMA, namun tiba-tiba bapak bermuram durja. Saya tidak tahu sebabnya apa. Tapi
suatu saat ibu saya bilang ke saya, “Nak, Ibu kok mimpi kamu jadi guru.”
Saya jawab, “Kalo jadi guru harus masuk SGA, Bu.” Ibu menjawab tidak
tahu. Ketika masuk SGA bapak ternyata senang, karena di SGA ada ikatan
dinasnya.
Ketika di SGA, terus terang saya adalah pendukung PRRI
Permesta. Karena tuntutannya adil, diakhirinya sentralisme Jakarta terhadap
daerah. Wajar orang muda. Namun ketika muncul Dewan Gajah, Dewan Banteng
pimpinan Ahmad Husen Simbolon dan minta tolong orang barat, Amerika, maka
simpatik saya anjlok. Untuk urusan satu bangsa kok minta tolong orang luar.
Saya kecewa berat. Namun saya tidak mau menjadi korban kekecewaan saya. Maka
saya sempat menjadi Korps Pelajar Pembebasan Irian Barat di Semarang. Kami
pernah apel di depan Mayjen Soeharto, Komandan Teritorium IV Diponegoro. Waktu
itu Pak Harto masih langsing, jadi bisa dibayangkan betapa kerempengnya saya.
Maka saya tidak bisa dikirim ke Irian Barat.
Ada pengalaman menarik ketika saya di Semarang. Ada
seorang dokter, namanya Paryono Suryodipuro, mendirikan Akademi Metafisika.
Waktu itu Bung Karno dan Bung Hatta sudah retak, maka ada tarian landshow untuk
kemanunggalan presiden dan wakil presiden namun gagal. Tiba-tiba kami
mendapat giliran Pak Paryono mau ceramah. Pak Paryono selain dokter juga tokoh
Masyumi. Sebagai ketua keluarga di sekolah, saya mesti hati-hati, tokoh Masyumi
mau ceramah. Saya bersiap mau mengatur atau merekayasa siapa yang akan bertanya
dan apa yang mau ditanyakan. Begitu orangnya datang, seluruh persiapan dan
mental saya berantakan. Cahaya wajahnya jernih luar biasa.
Jadi saya blangkemen, tidak bisa berucap. Ndilalahe,
seluruh pertanyaan saya yang belum saya ajukan dijawabnya satu persatu. Waktu
itu saya bertekad orang ini mesti saya jadikan guru. Bukunya menjiwai saya,
yaitu Alam Pemikiran dan Manusia dalam Keadaan Sehat dan Sakit, Pendekatan Atom
Fisika. Dalam ceramahnya Pak Paryono mengutip Serat Centini, Ensiklopedia
budaya jawa. Maka ketika saya kuliah, buku-buku itu saya cari.
Sebagai ketua keluarga, kadang interlokal dan
telegaram buat asrama putri bisa jatuh ke asrama putera. Dan kalau kesasar
begitu yang boleh masuk asrama puteri hanya ketua keluarga. Suatu ketika ada
telegram yang sangat penting yang harus saya sampaikan ke asrama puteri. Pukul
setengah dua siang saya ngebel. Ketika pintu gerbang dibuka, tidak sengaja saya
melihat banyak anak asrama puteri yang tengah beristirahat tiduran di ruang
tengah. Saya kaget karena tidak pernah menduga. Tentu sebagai anak muda waktu
itu saya merasa bahagia. Namun itu pengalaman yang menyadarkan bahwa saya harus
menjaga kesucian saya.
Pengalaman itu yang menyelamatkan saya ketika pergi setahun
ke Belanda. Teman saya di negeri Belanda tenggelam dalam kehidupan bebas di
sana. Satu tahun itu saya tidak bersentuhan dengan wanita. Justru waktu satu
tahun itu saya manfaatkan untuk mencari misteri sujud. Dan alhamdulillah hal
itu saya dapatkan, yaitu ketika saya mencapai momentum dimana saya merasa tidak
punya apa apa.
Selepas SGA, karena nilai saya rata-rata 7,5 maka saya
diperbolehkan kuliah, namun tidak boleh mengambil jurusan ilmu pendidikan. Maka
saya mengambil jurusan sastra. Setelah kuliah saya pindah ke fakultas pedagogik
jurusan Psikologi. Pada tahun 1962, saya sudah tingkat doktoral di Psikologi.
Saat itu sepanjang jalan Kaliurang Yogya, seringkali terlihat orang
berbaris. Saya masih ingat lagunya, majulah pasukan tentara rakyat, buruh dan
tani menanti-nanti, bruk-bruk. Buruh dan tani minta dipersenjatai, mau
membentuk kolone kelima. Belakangan pada tahun 1965 terjadi G30 S PKI.
Kacau balau studi saya. Karena dosen dosen psikologi
waktu itu terkenal merahnya. Namun sebelum itu ada kejadian yang membuat
saya terkagum-kagum pada bapak, yakni ketika saya mau menyelesaikan skripsi.
Saat lebaran saya minta pamit bapak untuk ke Yogya, guna melakukan penelitian
atas siaran radio Pak Cilik Njaluk Dhuwite. Sebenarnya siaran itu saya kritik,
lha kok anak kecil urusannya duit. Itu nggak benar. Kedua kok njaluk (minta),
harusnya nyuwun (bahasa halus dari minta). Ternyata itu program siaran
PKI untuk menyindir pemerintah yang sukanya meminta uang pada Amerika.
Saya mau meneliti hal itu, tapi bapak marah. Bahkan
lebih parah dan di depan umum. “Kamu mengira hal itu bermanfaat?” ujar bapak.
Macet saya, tiga hari-tiga malam saya tidak keluar kamar. Melihat saya seperti
itu, bapak saya bilang, “Apa Padjar mati ya?” Sehingga tahun 1965 -1968
terombang ambing. Bagaimana mengatasi hal itu, saya masuk keraton. Saya baca
semua buku di dalamnya. Dan ketika terjadi peristiwa 1965 saya bersyukur karena
belum lulus. Andaikata saya jadi lulus dibimbing oleh dosen saya kan merah
warna saya. Alhamdulillah bapak saya lebih waspada.
Akhirnya tahun 1968 saya masuk filsafat dan mulai dari
awal lagi. Pada tahun 1972 saya menetapkan untuk berkeluarga, padahal waktu itu
saya belum lulus. Kemudian bersama dengan beberapa teman saya mendirikan colt
kampus. Awalnya hanya tiga colt lalu menjadi 12 dan berkembang lagi menjadi 22
buah.
Karena kernet kami mahasiswa maka mereka kelihatan
jenuh dari rutinitas lalu main-main. Misalnya membuat stiker dengan tulisan don’t
talk but do it. Maksudnya jangan ngomong kecuali duit. Kemudian tulisan
“Hari ini jauh dekat 250, besok gratis.” Ternyata ada orang Medan yang datang
ke Yogya dan bilang, “Wah ternyata Yogya itu istimewa juga.” Dia kasih uang
seribuan dan kembaliannya dia berikan kepada kernet itu, karena ia akan
membayar gratis besoknya. Oleh kernet kami ya tetap diminta, “Yang gratis kan
besok bang, sekarang tetap bayar.”
Dalam berkeluarga saya mengira sudah cukup diberi 4
anak, dua putra dan dua putri. Dari dulu kalau mau diberi titipan anak yang
muncul dalam kesadaran adalah nama dulu. Nah sewaktu putri ke empat berumur 18
tahun, perumahan Pesona Asri akan membangun masjid. Saya diminta untuk memberi
nama masjid itu. Saya bilang, “Ruhnya Islami tapi namanya jawa mau nggak?” Saya
rencana akan memberi nama Latu Adi (api keluhuran). Tiba-tiba panitia dari
Jakarta sudah memberi nama. Namanya Al Kautsar. Lha namanya untuk siapa?
Ternyata istri saya hamil lagi. Waktu itu usianya 52 tahun. Jadilah anak itulah
nama anak kami yang paling kecil. Dan saya beri nama Ajar Nuhoni Latu Adi.
Dalam berhubungan dengan anak muda, saya
habis-habisan untuk memberikan nasehat agar selamat meniti masa muda. Sebab,
kita hidup di zaman dimana kali ilang kedhunge, pasar ilang kumandhange,
wong wadon ilang wirange. Artinya hidup jadi dangkal, kita terjebak
di pasar orang (kapitalisme) dan rasa malu sudah dicabut dari wanita.
Seharusnya pria tidak boleh melihat organ perempuan kok malah dipertontonkan.
Jika tidak hati-hati maka tidak akan selamat meniti masa muda. Kadang kala juga
salah memahami takdir.
Suatu ketika saya didatangi seorang tamu puteri. Saya
terkejut, langsung bertanya “Apa betul pak Allah itu indah?” Saya jawab,
“Betul, kalau kita benar benar mengenal Allah dengan benar. Kalau kita tidak
melihat secara Allah melihat, kalau kita melihat seperti Allah melihat dan
bukan dengan mata. Karena ada mata keranjang, mata duitan, lama kelamaan mata
raksasa, sehingga keliru melihat yang baik menjadi buruk. Jadi memang harus
jernih melihat dan jangan menyalahkan Allah.”
Kemudian tamu itu bertanya lagi, “Lho
kalo Allah itu indah kenapa kok saya jelek?“ Saya jawab, “Lho salah kamu.”
Kemudian saya tanya namanya, ternyata namanya Pujdiati. Kemudian saya bilang,
“Dunia ini jika tanpa Pujdiati tidak akan lengkap.” Terus ia tanya, “Lho Pak,
kalo yang jelek Pudjiati jelek terus saya ini siapa?”
Saya bilang, “Tanyakanlah kepada Allah,
mintalah takdirmu. Jadi semua konsep keindahan, kebaikan, kebenaran itu ada
ditangan-Nya. Yang ada di dunia ini adalah tamsil, terminal, eksemplar. Jadi
kalau di dunia kita sedang kesempitan, lampauilah dengan sabar, maka kita akan
mendapatkan takdir di tangan Allah. Lama kelamaan kita akan sabar syukur dalam
segala cuaca. Itulah ilmunya Nabi Daud. Berpuasa sehari dan berbuka sehari.”
Tamu itu kemudian menangis lagi tapi mengerti.
Ada anak daerah yang mau belajar sama saya.
Saya mau tapi harus ada pengaman yaitu kerja. Saya bilang, “Kamu harus bisa
bekerja dalam rangka beribadah.” Kemudian prinsipnya kalau nanti belum
dapat untung mesti sabar dan syukur. Tiba-tiba tahun kelima sebelum kami pindah
hasilnya satu bulan bersih bisa mencapai lebih dari 10 juta. Ini dalam rangka
persiapan pesantren kerja.
Alhamdulillah hingga hari ini saya telah mempunyai
beberapa program kerja. Insya Allah saya akan melaksanakan pesantren kerja,
siang bekerja dan malamnya ngaji. Selain itu saya juga mendapatkan
kemudahan premium call, dengan sistem tanya jawab melalui gelombang
radio.
Tetapi bukan jenis premium call yang kebanyakan mesum
itu. Ini konsultasi kehidupan dan agama. Bahkan kalau datang malah gratis.
Insya Allah dengan ini pula kami mengundang Pusat studi internasional Aborigin
di Australia yang menemukan fusi dingin, pengganti bensin. Tapi syaratnya
teknologi tingkat tinggi ini tidak boleh dimiliki atau diperjualbelikan. Itulah
revolusi. Bukannya revolusi dalam konteks gaprak gapruk. Jadi kalau kita egois,
itu rotasi, maka kita akan keberatan. Tapi kalau kita taqarub kepada Allah,
kita berkorban. Berkorban itu bukannya Ibrahim menyembelih anaknya Ismail,
namun berkorban adalah memotong rasa kepemilikannya. Kita tidak punya apa-apa,
sampai punya rasa pun tidak, itu baru revolusi.
Dalam kehidupan bagi saya yang tepat itu bukan
benturan al haq dan batil. Bukan karena kebenaran tanpa lawan. Jadi mesti
menang dan yang gugur itu kebatilannya. Orang jawa menyebutnya hati itu
‘manah’. Agar tajam seperti anak panah. Pamenthanging gendewa, pamenthanging
cipta. Pustaka lengggah wonten ing mustaka. (Terentangnya busur panah,
terentangnya karya, buku itu bersemayam di kepala). Jadi ini harus identik
dengan kitab suci, kuncinya adalah perbanyak sujud. Maka menurut saya,
javanologi itu yang kritis. Saya javanologi tapi insya Allah Islami.
**** Sumber:
Majalah TARBAWI Edisi 56, Bulan April 2003
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar