Prof. Dr. Ir. Achmad Jazidie, M. Eng
(Dosen Tetap ITS, 1984- Sekarang.)
(Komisaris PT Media Nusantara Citra 2008- Sekarang)
Achmad Jazidie, ketika kecil dia tidak pernah membayangkan dirinya menjadi
insinyur apalagi guru besar, melainkan menjadi seorang ustad atau kyai. Dan
karena keteguhannya pada prinsip, dia
pun berhasil menjadi sosok pribadi yang
utuh--- seorang intelektual yang agamis, otak yang cemerlang dan hati yang
teduh.
Lahir di Gresik, tanggal 19 Februari
1959, anak kedua dari sembilan bersaudara, Jazidie dibesarkan dalam keluarga
yang taat beragama. Ayahnya adalah seorang penghulu, kepala kantor agama
tingkat kecamatan, yang lebih suka mendidik anak-anaknya dengan memberi contoh dalam bersikap dan
bertindak. Karena lahir di lingkungan pesantren, Jazidie hanya berpikir untuk
belajar di pondok pesantren. Tetapi ayahnya berpikir lain, menginginkan anaknya
menjadi cendekiawan dan cenderung menyekolahkan di sekolah umum. Karena Jazidie ngotot, akhirnya diambil jalan
tengah, dia dimasukkan ke SMP Ma’arif di Gresik. Lulus SMP, Jazidie meneruskan
ke Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang yang menyelenggarakan pendidikan tingkat
SMA. Tetapi karena muridnya hanya sedikit, semua murid dijadikan satu kelas dan
ditetapkan untuk jurusan IPS, sementara
Jazidie menyukai ilmu eksakta. Akhirnya Jazidie pulang ke Gresik dan meneruskan
ke SMA Negeri Gresik---dan berkat kecerdasannya, tahun 1976 dia dinobatkan
sebagai siswa teladan SMA se-Kabupaten Gresik. Karena prestasinya ketika itu,
dia memperoleh kesempatan untuk masuk ke lima perguruan tinggi negeri tanpa
tes.
Memilih kuliah di ITS 1977, Jazidie memantapkan hati untuk mendalami teknik
elektro karena dianggap sangat menantang. Selain aktif di kegiatan organisasi
kemahasiswaan, dia juga mulai mengajar di bimbingan belajar dan di sebuah SMP
di Gresik sejak semester III. Selain dapat membiayai kuliahnya, kegiatan
mengajar membuat dirinya merasa berarti dan menemukan sentuhan kebahagiaan
ketika berbagi ilmu. Di ujung kuliahnya, ayahnya meninggal. Suatu masa yang
dilematis, Jazidie merasa tidak memiliki kekuatan untuk melanjutkan kuliahnya---melihat masih
banyak adik-adiknya yang harus sekolah. Hanya satu yang hinggap dipikirannya,
bekerja dan dapat membiayai adik-adiknya. Hingga kemudian teman seangkatan
mencarinya dan datang ke rumah untuk mengajaknya kembali ke kampus. Pada saat
itulah, Jazidie merasakan begitu penting arti sebuah pertemanan---yang pada
kondisi tidak menentu, dia datang seperti secercah cahaya.
Usai diwisuda tahun 1983, Jazidie mengabdikan diri di almamaternya sebagai
konskuensi beasiswa ikatan dinas yang diterimanya dan setahun kemudian dilantik
sebagai PNS. Tipe pekerja keras yang cerdas, diapun berusaha belajar dari para
seniornya di ITS dan harus pandai-pandai membawakan diri. Meskipun di dunia
kampus semua orang menghargai perbedaan pendapat, kadang diapun harus pandai
menahan perasaan.
“Pertama kita harus punya rujukan yang jelas tentang benar dan salah, dan
komitmen untuk terus berpijak dan berpegang pada kebenaran. Dan kebenaran yang
absolut adalah yang berdasarkan agama,” jelas Jazidie tentang bagaimana
menapaki jalan hidup. “Kedua, buatlah lingkungan kerja kita terkesan. Untuk itu
kita harus kerja keras, kita harus cerdas. Buat atasan atau lingkungan kerja
merasa oh arek (anak) iki pinter, arek
iki prigel, nek diwenehi kerjaan pasti beres.”
Dan menurut Jazidie, harus ditanamkan semangat pengabdian dalam diri
sendiri. Sebagai bawahan seseorang harus loyal pada atasan--- bukan berarti
menjilat, tetapi bagaimana kita mampu mendukung tugas-tugas pimpinan dengan
tetap berpegang pada nilai-nilai
kebenaran. Berusahalah memberi warna kepada lingkungan kerja, berusaha memberi
kontribusi terbaik yang bisa kita berikan. Dan tidak perlu menganggap rekan kerja
sebagai kompetitor, melainkan sebagai tim kerja untuk tujuan bersama.
“Ibarat tim sepak bola di lapangan hijau, setiap anggota tim harus berusaha
bekerja lebih keras untuk mendukung bekerja lebih keras untuk mendukung
tercapainya satu tujuan, goal. Dari sebelas anggota tim, pasti ada satu dua
yang menjadi jagoan, yang ketika dia berhasil mencetak goal semua akan
memeluknya. Tidak ada yang iri atau dengki, karena mereka ada dalam satu
tujuan, prestasi. Begitu juga ketika penjaga gawang kebobolan atau pemain depan
gagal mengeksekusi penalti, tidak ada yang menghujat, melainkan
bersama-sama membangkitkan semangatnya, karena mereka semua melihat
tujuan yang lebih besar, kemenangan tim,” jelas Jazidie. “Di akhir
pertandingan, kita melihat bagaimana tim pemenang merayakan keberhasilan, tak
perduli mencetak goal atau tidak, karena semua merasa telah memberikan yang
terbaik. Sebaliknya bagi tim yang kalah, berapapun bisa mencetak gol, dia tetap
saja melangkah tertunduk.”
Tahun 1985 sebagai dosen muda, Jazidie terpilih menjadi Tim Proyek Listrik
Masuk Desa, kerja sama ITS-Pemda Jawa Timur hingga tahun 1989. Dia pun terus
belajar meningkatkan kompetensi dibidang akademik dengan menimba pengalaman di
lapangan untuk ditransfer kepada anak didik.
Memperoleh beasiswa dari Hitachi Scholarship, Jazidie berkesempatan
melanjutkan kuliah program S2 di Universitas Heroshima di Jepang tahun 1989.
Setelah setahun belajar bahasa Jepang, dia berhasil meraih gelar master di
bidang information engineering tahun 1991. Dia melanjutkan program S3 di bidang
industrial and system engineering di universitas yang sama dan berhasil meraih
gelar doktor tahun 1995.
Sepulang dari Jepang, selain kembali mengajar di kampus ITS, Jazidie juga
berusaha mentransfer ilmu dan teknologi yang dikuasai dalam berbagai pelatihan.
Tahun 1996, dia dipercaya sebagai Sekretaris Jurusan Teknik Elektro ITS dan
setahun berikutnya ditugaskan merangkap jabatan sebagai Ketua Program Studi
Teknik Elektro Pasca Sarjana.
Tahun 1999, Jazidie dipilih sebagai Ketua Jurusan Teknik Elektro FTI ITS,
kemudian dia mendapat kepercayaan sebagai Pembantu Rektor III ITS, untuk masa
bhakti 2003-2007. Selain mengemban jabatan struktural, Jazidie juga mendapat
kepercayaan memimpin beberapa proyek penting : diantaranya sebagai Ketua Program PULSE (Public University Link System of East Java), kerja sama PTN dan IAIN
se-Jatim (2003-2007), Ketua Project Implementation Board untuk PREDICT ITS
(Project for Research and Education
Development on ICT in ITS), Kerja sama JICA ITS mulai tahun 2006 hingga
sekarang. Selesai mengembang tugas sebagai Pembantu Rektor ITS tahun 2007,
Jazidie diminta untuk menjadi Komisaris
PT Semen Gresik Tbk. Setahun kemudian, dia juga dipercaya menjadi
Komisaris PT Media Nusantara Cipta Tbk.
Menyikapi usaha menuju kemandirian bangsa, Jazidie menyoroti lemahnya etos
kerja dan kurangnya kedisiplinan. Selama menempuh pendidikan di Jepang, dia
banyak mempelajari budaya dan cara hidup masyarakat Jepang--- yang merasa malu
jika tidak bekerja keras, merasa malu apabila tidak berhasil melaksanakan
tugas. Bagi orang Jepang, hidup adalah pertaruhan harga diri--- yang apabila
tidak dipakai harga diri mereka terasa terpuruk. Bukan maksud menjelek-jelekkan
bangsa sendiri, menurut Jazidie, bahwa bangsa Indonesia harus sadar akan kelemahannya
yang mendasar, etos kerja dan sikap disiplin. Apabila bangsa itu tidak sadar,
maka bangsa ini tidak akan pernah mampu memperbaiki dirinya.
“Kita bangsa yang beragama, memiliki landasan teologis yang jelas bahwa
bekerja itu adalah ibadah,” jelas Jazidie, yang pernah dipercaya menjadi dosen
tamu di Saga University di Jepang. “Nah, kalau bekerja adalah ibadah, maka
segala tindakan dan perbuatan kita persembahkan kepada Tuhan. Artinya kita
harus berusaha keras untuk mempersembahkan yang terbaik. Dan kita terperangah,
ketika diperlihatkan fakta yang ada di negara lain, yang dalam hidup tidak
memiliki teologi yang jelas, ternyata mereka justru berusaha mati-matian untuk
melakukan yang terbaik. ”
Lingkungan masyarakat memiliki andil yang besar. Dia mencontohkan setiap
dosen yang belajar di luar negeri, secara otomatis mereka harus beradaptasi dan
belajar kepada lingkungannya. Di sana banyak doktor dan profesor yang naik
angkutan umum, bis kota atau kereta api. Begitu pulang ke Indonesia, satu atau
dua tahun, mereka masih mampu bertahan dengan pola pikir seperti itu--- pergi ke kampus naik
angkot. Biasanya lingkungan dan tetangga menghakimi. “Jauh-jauh kuliah ke luar
negeri, kemana-mana naik angkot.” Lama kelamaan bobol juga pertahanannya.
“Ukuran sukses di masyarakat kita bukan kemampuan ilmu pengetahuan atau karya
yang diberikan. Melainkan kalau mudik lebaran anak-anaknya bawa mobil.”
Jazidie menyimpulkan bahwa pendidikan harus menjadi prioritas utama dalam
pembangunan bangsa. Dan tidak dipungkiri bahwa hampir seluruh bangsa ini sadar akan hal itu. “Sayangnya kita terlalu senang beradu pintar
berwacana, pinter-pinteran ngomong, pinter pinteran komentar,” keluh
Jazidie. “Samai-sampai kalau saya menyebut kata pendidikan seolah
kehilangan makna, karena seringya disebut.” Contoh, hanya pelaksanaan Ujian
Nasional, begitu banyak orang ribut dengan begitu banyak argumen dan komentar.
Semua program harus punya sasaran, harus punya target. Dan ketika palu sudah
diketok, seluruh elemen masyarakat seharusnya mendukung untuk mensukseskannya.
Nah kalau begini, tarik ulau terus menerus, ya nggak jalan-jalan.”
Harus diakui, ibarat tim sepak bola, bangsa Indonesia belum bisa menjadi
tim yang padu dan solid. Dalam hal inilah Jazidie berharap bangsa Indonesa
mampu membuat konsensus nasional di berbagai bidang strategis yang didukung dan
dihormati oleh seluruh elemen masyarakat--- tidak ada lagi cek cok, tidak ada
lagi pinter-pinteran ngomong, melainkan semua berbuat dan bertindak untuk mensukseskan
tujuan bersama: kemandirian bangsa. Langkah ke arah tujuan itu memang masih
jauh, dan harus segera dimulai. Karena kalau tidak, bangsa ini tidak akan
pernah melangkah dengan tegap.
Jazidie berharap perguruan tinggi di Indonesia tidak hanya berfungsi sebagai kekuatan moral,
melainkan juga kekuatan riil untuk
semakin meningkatkan gerakan pemberdayaan masyarakat, terus menerus
mempromosikan budaya disiplin dan etos kerja tinggi--- disamping membangun
kader-kader muda yang unggul dan handal. Dari kampus-kampus perguruan tinggi
inilah merah hitam warna bangsa ini akan ditentukan.
Perkembangan kampus ITS sendiri, menurut Jazidie sangat membanggakan.
Proses belajar mengajar sudah jauh lebih baik, usaha-usaha untuk meningkatkan
keunggulan-keunggulannya juga semakin ditingkatkan. “Alumni ITS terkenal
sebagai pekerja keras, militan dan punya
dedikasi tinggi. Karena itu, umumnya kalau sudah bekerja, mereka
benar-benar fokus pada pekerjaannya. Sehingga terlalu fokus menjadi kurang
menjalin komunikasi antar sesama alumni. Akibatnya banyak alumni ITS sendiri
yang tidak tahu teman-teman alumninya dimana dan jadi apa,” jelas Jazidie. “Fokus dan komitmen pada
pekerjaan itu wajib, tetapi menjalin komunikasi dan membangun jejaring yang
kuat, peran alumni ITS akan semakin besar bagi pembangunan bangsa ke depan.
Setidaknya alumni ITS bisa saling tukar informasi, saling berbagi pemikiran dan
gagasan untuk bagaimana memberikan kontribusi terbaik pada masyarakat”
BERBAKTI KEPADA ORANG TUA BERANILAH BERMIMPI DAN KEJARLAH MIMPI ITU MEMBANGUN ITU SEPERTI MENANAM POHON PARA PEMIMPIN |
||
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar