Drs. Siti Safuroh, M.Si
(Guru PAI SMP N 2
Giriwoyo, Wonogiri, Jawa Tengah)
Duta Jawa Tengah dalam lomba guru teladan tingkat nasional ini, sejak
kanak-kanak sama sekali tidak pernah membayangkan kelak setelah dewasa mau
menjadi apa. Yang penting apa yang dia miliki dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan masyarakat atau orang banyak. Boleh dikata, keinginannya sangat
abstrak sekali.
Untuk mencapai cita-citanya itu, pehobi berat membaca, menulis dan berorganisasi ini sangat menghargai
waktu. Sepanjang waktu dalam kesehariannya ia habiskan untuk melahap buku-buku
dan menggoreskan pena di kertas putih atau berlama-lama didepan komputer untuk
menuangkan gagasannya di sela-sela kesibukan, sejak menjalani tugas belajar,
hingga menjadi pengabdi pendidikan dan ibu rumah tangga yang mendampingi suami
dan mengurus dua anak yang menjadi buah hatinya.
“Kesukaan saya sejak kecil hingga mahasiswa adalah membaca dan menulis
serta berorganisasi. Alhamdulillah hobi membaca dan menulis kini masih melekat.
Sedang kumpul-kumpul untuk berorganisasi
agak saya kurangi, karena setelah berkeluarga saya mengurangi aktivitas di luar
rumah atau berorganisasi,” kata Safuroh.
Memilih hobi membaca dan menulis merupakan pilihan yang tepat baginya, karena aktivitas ini
sangat didukung oleh lingkungan tempat ia lahir dan menjalani masa anak-anak
sampai remajanya. Tempat kelahiran dan tempat tinggalnya di Desa Bandung,
Kecamatan Tegak Selatan, Kota Tegal merupakan lingkungan yang sangat religius.
Dalam keseharian anak-anak di kawasan ini sangat terkontrol dengan
kegiatannya. Banyak aktivitas pengajian, mulai dari belajar mengenai huruf
Arab, membaca Al Qur’an sampai mengaji kitab-kitab yang diawasi oleh para kyai
di kampung sangat membantu pembentukan watak masyarakatnya.
Keberadaan lembaga pondok pesantren Mambaul Ulum dibawah asuhan Kyai Abdul
Hamid Yusuf juga sangat membantu pembentukan watak dan moral anak-anak yang
tinggal di kawasan Tegal Selatan khususnya Desa Bandung. Di dalam masyarakat
yang sangat kental dengan pengamalan nilai-nilai agama Islam. Itulah Safuroh
menghabiskan masa kecil hingga remajanya.
Sepanjang hari, seusai mengikuti pelajaran sekolah formal, waktunya ia
habiskan untuk beraktivitas di lingkungan Pondok Pesantren Mambaul Ulum
bersama-sama dengan teman sebayanya. “Di lingkungan seperti itulah dulu saya
bermain, beraktivitas dan belajar agama bersama teman-teman sepanjang siang,
sore dan malam hari. Seakan di sepanjang waktu kita ditunggui oleh guru ngaji,
santri senior dan pak kyai,” katanya.
Dengan lingkungan yang sangat religius seperti itulah anak pasangan Toyib
Abdullah dan Harisa, yang memiliki perhatian besar terhadap pendidikan
anak-anaknya. Orang tua Safuroh merasa mantap menyekolahkannya di lembaga
pendidikan umum yang porsi pelajaran agamanya sangat terbatas. Karena bekal
ilmu agama sudah diperoleh dari guru-guru ngaji di kampung dan pondok pesantren
Mambaul Ulum.
Memang pendidikan formal dari tingkat dasar hingga menengah atas yang
dilalui anak keempat dari lima bersaudara ini semuanya lembaga pendidikan umum.
Masing-masing SDN Bandung 1 Tegal (lulus tahun 1977), SMPN 1 Tegal (lulus 1981),
dan SMAN 1 Tegal (lulus 1984). Selama duduk di bangku sekolah formal itu
Safuroh tergolong siswa berprestasi. Selepas SMP, tiga sekolah negeri di kota
kelahirannya dimasuki, masing-masing Sekolah Pendidikan Guru Negeri (SPGN)
Tegal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Negeri (SMEAN) dan Sekolah Menengah Atas
Negeri 1 Tegal, dan ia dinyatakan
diterima di ketiga sekolah itu. Namun yang dipilih adalah SMAN 1 Tegal.
Seusai dari SMA, Safuroh masuk ke Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang. Gelar sarjana pendidikan berhasil ia peroleh pada tahun 1989. Ketika
memilih untuk masuk ke IAIN Walisongo banyak orang yang bertanya. “Kok berani-beraninya masuk IAIN?” Mengingat
pendidikan yang dilalui adalah sekolah umum dan bukan sekolah agama? Demikian
tanda tanya yang mengiringi upayanya untuk masuk ke IAIN Semarang.
“Ya pertanyaan seperti itu muncul dari teman-teman saya sewaktu di SMP dan
SMA, ketika saya lulus SMA dan memilih masuk ke IAIN. Pertanyaannya bernada
meragukan kemampuan saya. Apa bisa lolos?
Setelah masuk apa bisa mengikuti perkuliahan? Mengingat program studi dan
perguruan tinggi yang saya masuki tidak sejalur dengan pendidikan formal yang
saya lewati sejak pendidikan tingkat dasar hingga menengah, saya tidak pernah
sekolah di MI, MTs atau MA,” katanya
Keraguan akan kemampuannya itu merupakan sesuatu yang wajar kalau dalam
melihat sosok wanita energik dan kalem ini hanya dari sudut pandang asal-usul
pendidikan formalnya sebelum masuk ke IAIN. Namun setelah mengetahui
aktivitasnya di luar kegiatan formalnya, tentu orang akan segera mafhum. Kenapa
Safuroh berani masuk ke IAIN? Karena tenggang waktu di luar jam sekolah formalnya ia manfaatkan
untuk memperdalam ilmu agama, melalui kegiatan mengaji kepada para kyai kampung
dan pondok pesantren Mambaul Ulum yang dekat dengan tempat tinggalnya.
Proses studinya di IAIN Walisongo Semarang ia lalu dengan mulus, hingga
akhirnya lulus tepat waktu di tahun 1989. Kesuksesan menyelesaikan pendidikan
jenjang S1 di ulangi kembali ketika ia masuk program pasca sarjana S2, dengan
konsentrasi Pendidikan Islam di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Gelar Master Studi Islam ia raih di tengah-tengah kesibukannya sebagai pengajar
dan penulis buku pada tahun 2005.
Dan sederet bangku pendidikan yang ia lalui itu, studi di IAIN Walisaongo
Semarang dirasa sangat mengesankan bagi dirinya sendiri. Kala itu masuk IAIN,
proses perkuliahan dengan sistem SKS baru saja diterapkan di perguruan tinggi
IAIN. Semula sistem ini dikhawatirkan akan memberatkan mahasiswa baik di kampus
maupun di luar kampus.
Ketatnya jadwal kuliah yang seakan memposisikan mahasiswa selalu diburu
waktu agar cepat menyelesaikan kuliah tidak mengganggu upayanya dalam
mengaktualisasikan dan mengembangkan bakat, hobi dan kesukaannya. Di
tengah-tengah kesibukannya untuk menyelesaikan kuliah, Safuroh masih
menyempatkan diri untuk beraktivitas dalam kegiatan mahasiswa.
Aktivitasnya yang digelutinya selama menjadi mahasiswa diantaranya Senat
Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Semarang,
Pramuka dan Pers Kampus melalui Surat Kabar Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang
”Amanat”.
“Di pers kampus itulah saya mendapatkan pengalaman yang sangat berharga.
Dunia tulis menulis ‘yang sebenarnya’ saya dapat dari sini. Kegiatan
kecil-kecilan seperti mengelola majalah dinding sewaktu di SMP dan SMA bisa
saya kembangkan di sini,” katanya.
Sebagai mahasiswa yang mengambil studi Tarbiyah, ia lebih suka menulis
artikel-artikel yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Kegemarannya menyoroti
perkembangan dunia pendidikan ia tuangkan dalam tulisan yang dikirim ke
berbagai media massa, penerbitan penerbitan khusus seperti Bulletin SMP-SMA
yang terbit di Wonogiri.
Selain mengembangkan hobi menulis artikel, ia juga menulis buku-buku pelajaran
Pendidikan Agama Islam untuk anak-anak sekolah dan LKS. Beberapa diantaranya
diterbitkan oleh penerbit dari Jakarta, sehingga karya-karyanya kini menghiasi
rak-rak buku di sejumlah toko buku di tanah air
dan dinikmati sebagian murid di Indonesia yang belajar agama melalui
buku PAI yang ditulisnya. Berkat ketekunan dan keteladanannya itu, Safuroh
meraih penghargaan yang berkait dengan pendidikan. Terakhir meraih juara ke-2
Guru Teladan Tingkat Nasional mewakili Jawa Tengah.
Terdorong oleh cita-citanya yang sederhana itu, berguna bagi nusa bangsa
dan agama, Safuroh selalu melangkah dengan enteng. Berbagai kegiatan yang
bermanfaat ia lalui dengan baik. Setelah mengakhiri masa lajangnya tahun 199,
ia menyertai suaminya yang berdinas di kota Wonogiri. Ia memulai langkah baru
dengan menjadi guru wiyata bakti di SMA Negeri 1 Wonogiri dan Madrasah Aliyah
Negeri (MAN) Wonogiri Jawa Tengah. Selang beberapa tahun Safuroh diangkat
menjadi PNS yaitu di tahun 1997. Dan selama meniti karir sebagai guru, ia
merintis berdirinya Taman Pendidikan Al Qur’an (TPQ) Istiqlal untuk
mempersiapkan anak-anak di sekitar tempat tinggalnya agar bisa membaca Al
Qur’an dan belajar agama Islam.
Di mata Safuroh tugas mendidik anak-anak dan membekali ajaran agama saat
ini menghadapi tantangan yang berat. Perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi yang pesat, di sisi lain membawa dampak negatif bagi anak-anak
Indonesia. “Banyak sekali
tayangan-tayangan yang tidak mendidik kepada anak-anak kita.” Karena itu ia selalu mendampingi dua anaknya
ketika mereka menyaksikan tayangan televisi. Agar kesan-kesan buruk yang masuk
ke pikiran anak-anaknya bisa segera dinetralisir secepatnya.
Menurutnya anak anak Indonesia kini terjajah dan terbelenggu oleh kesan-kesan yang kurang baik dari berbagai televisi. “Namun hal ini tidak bisa kita tolak, kehadiran teknologi merupakan sebuah keniscayaan, karena itu kita harus membentengi anak-anak kita dengan berbagai cara dari serangan informasi yang menyesatkan itu.”
Menurutnya anak anak Indonesia kini terjajah dan terbelenggu oleh kesan-kesan yang kurang baik dari berbagai televisi. “Namun hal ini tidak bisa kita tolak, kehadiran teknologi merupakan sebuah keniscayaan, karena itu kita harus membentengi anak-anak kita dengan berbagai cara dari serangan informasi yang menyesatkan itu.”
Sebagai salah seorang penyandang gelar juara guru teladan tingkat nasional, Safuroh merasa tertantang untuk selalu berbuat dan memberikan yang terbaik untuk suami, keluarga, murid-murid di sekolah dan masyarakat. Semboyan hidupnya : “Jadikanlah hidup ini seperti lilin, rela berkorban demi kebahagiaan orang lain”. Safuroh menikah dengan Drs Wiyono, MSi yang juga Guru PAI di Wonogiri dan memiliki dua orang anak yaitu Muhammad Zulfa Al Faruqy dan Maulida Abdillah Al Faruqi
.
**** Sumber:
Majalah Rindang No 8 Edisi
Juni 2007
BERBAKTI KEPADA ORANG TUA BERANILAH BERMIMPI DAN KEJAR MIMPI ITU MEMBANGUN ITU SEPERTI MENANAM POHON |