Rabu, 03 Juni 2015

BERBAKTI KEPADA ORANG TUA


Prof Dr. Ir MUHAMMAD NUH, DEA
(Menteri Pendidikan Nasional)
(Mantan Menteri Komunikasi dan Informasi (2007-2009)



“Saya memiliki kebiasaan, tiap kali habis shalat Jumat, saya selalu menyempatkan diri berkunjung ke ibu saya, sambil membawa makanan kesukaan ibu saya yaitu jajan pasar. Sambil bercengkerama, menanyakan kesehatan dan kebutuhan sang Ibu. Saya berusaha sekuat tenaga dan perasaan jangan sampai pernah menyakitkan hati Ibu. Dan ternyata perilaku hormat dan perilaku baik sama ibu tadi itulah yang menghantarkan kesuksesan saya. Saya sangat yakin akan kebenarannyam yang saya peroleh dalam mimpi ketika saya memulai berusaha untuk hidup mandiri. Kesuksesan merupakan rahmat dari Yang Maha Pengasih, berbuatlah dengan penuh kasih sayang, Insya Allah Yang Maha Pengasih akan memberikan kasih-sayangNya. Apa lagi terhadap kedua orang tua, itulah yang dimaksud dengan bi’rul walidain (berbakti kepada orang tua).

Lahir 17 Juni 1959 di Surabaya, anak ketiga dari sepuluh bersaudara, Muhammad Nuh tumbuh dalam keluarga petani yang sederhana, namun religius. Hal ini karena ayah beliau, H. Muchammad Nabhani, adalah pendiri pondok pesantren Gununganyar Surabaya. Kesederhanaan kehidupan kampung dan kondisi orang tuanya menempa Nuh dengan kultur hidup sederhana, penuh kerja keras, membangun jiwanya dengan kepedulian sosial yang tinggi.

Dikenal berotak encer, Nuh diterima di Fakultas Teknik Elektro tahun 1977. Semasa kuliah aktif di HMI korkom ITS dan bersama teman-teman dekatnya Nuh rajin melakukan diskusi secara berpindah-pindah. Tempat yang sering dijadikan tempat cangkrukan (bermain) adalah rumah Ridwan Hisjam dan Erlangga Satriagung. “Pak Nuh orangnya yang sabar, kebetulan kami dulu mengurusi shalat Jum’at di kampus. Pak Nuh bertugas menjemput khatib, kalau tidak datang, penggantinya Pak Nuh sendiri.”, cerita Prof Dr. Ir Achmad Jazidie mengenang masa-masa kuliah.

Lulus dari ITS tahun 1983, Nuh diminta untuk menjadi dosen di almamaternya. Namun baru 3 tahun melaksanakan tugasnya, Nuh mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studinya ke Universite Science et Technique du Languedoc Montpeller, Perancis, jurusan Teknik Biomedika. Berhasil meraih gelar S2 tahun 1987, Nuh berhasil merampungkan program doktornya di universitas yang sama tahun 1990.

Dengan ketekunan dan kerja keras, Nuh berhasil menyelesaikan penelitian untuk disertasinya, “Realisation du System de Controle de I’Appareil d’Hyperthemie Superficielle ATS 2000.” Dia mengembangkan suatu sistem peralatan untuk terapi superficial bagi penderita kanker kulit. Peralatan tersebut masih digunakan di rumah sakit di Val d’Aurelle Montpellier, Perancis sebuah rumah sakit khusus kanker.

Sepulang dari Perancis, Nuh dipercaya menjadi Pembantu Direktur III Politeknik Elektronika Negeri Surabaya ITS (PENS ITS) dari tahun 1992-1997, kemudian menjadi Direktur PENS ITS selama dua periode dari tahun 1997-2003. Semasa menjadi Direktur PENS ITS, Nuh dipercaya menangani bantuan-bantuan proyek dari JICA (Japan Internationa Cooperation Agency) di ITS. Dan atas kesungguhannya dan kerja keranya, Nuh memperoleh penghargaan JICA Special Awards—yang pertama diberikan JICA kepada orang Indonesia.

Pada tahun 2003, ia diangkat sebagai Rektor—tercatat sebagai rektor termuda dalam sejarah ITS, yakni berusia 42 tahun saat menjabat. Bersama koleganya di ITS, Nuh menyusun buku berjudul “Arah Kebijakan Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi.” Hasil pemikiran itu kemudian diserahkan kepada Presiden SBY pada saat Dies Natalis ITS, 10 November 2004. Dalam buku itu, Nuh menyampaikan pandangannya bahwa saat itu sedang terjadi revolusi teknologi baru, yaitu revolusi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), atau  Information and Communication Technology (ICT). Menurut dia revolusi teknologi yang terjadi sebelumnya berbeda dengan revolusi ICT mempunyai dampak yang lebih luas, karena ICT telah menjadi suatu komponen utama bagi semua teknologi lain termasuk yang sepintas tampak dan berhubungan, seperti kedokteran, sipil, arsitek, geologi, permesinan, pertanian, yang perencanaan dan operasionalnya sangat tergantung pada ICT.

“Ikut di dalamnya juga ekonomi, karena ICT telah menjadi komponen utama bagi kegiatan perekonomian dengan melahirkan cara baru dalam berdagang, berproduksi, bertransaksi sehingga muncul istilah new economy, internet economy, knowledge economy, e-economy dan sejumlah nama lain yang menyiratkan munculnya model ekonomi baru yang digerakkan oleh eksistensi ICT dalam bisnis,” katanya.

Selain itu, ia menilai ikutannya adalah terjadinya revolusi sosial, karena ICT telah menyebabkan gaya hidup dan pola bermasyarakat, memungkinkan bekerja jarak jauh dengan waktu belajar bebas, memberikan ucapan selamat melalui sms, rapat melalui telewicara, hiburan sesuai permintaan, bahkan hiburan maya yang seakan nyata (virtual reality). Di bidang hukum juga telah terjadi revolusi hukum, karena ICT pada akhirnya memunculkan sisi hitam dalam kehidupan umum manusia, yaitu adanya segelintir orang yang memanfaatkan teknologi untuk kepentingan pribadi dengan merugikan pihak lain (cyber crime) sehingga memerlukan penanganan hukum tersendiri (cyber law).

Selain sebagai pendidik dan ilmuwan, Muhammad Nuh juga mencurahkan hidupnya untuk kegiatan-kegiatan sosial keagamaan. Dia aktif sebagai Ketua ICMI- Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia daerah Jawa Timur, Pengurus PBNU Surabaya, Sekretaris Yayasan Dana Al Falah Surabaya, Anggota Pengurus Yayasan Rumah Sakit Islam Surabaya dan Ketua Yayasan Pendidikan Al Islam Surabaya.

Kehidupan religiusnya membuat Nuh dikenal luas sebagai ulama. Semasa mengabdi di ITS, dia selalu hadir dalam forum diskusi Jam’ah Masjid ITS setiap malam ba’da Magrib. Menurut pengakuan para mahasiswa ITS, dia juga sering itikaf malam-malam selama bulan ramadhan. Ketokohan Nuh semakin lengkap ketika dia tidak kenal lelah masuk keluar masjid di kota Pahlawan untuk memberikan ceramah dan kotbah Jum’at. Maka tidak mengherankan bila masyarakat Surabaya memberinya gelar baru bagi Nuh, Kyai Haji.

Ketika Presiden SBY mengangkat Nuh sebagai Menteri Departemen Komunikasi dan Informasi, banyak pengamat menilainya sebagai “orang yang tepat di saat yang tepat di posisi yang tepat.” Integritasnya sebagai tokoh tidak perlu diragukan, kejujuran dan kebersihan hidupnya terpancar dari wajahnya, kepiawaian dan ketegasan sebagai pemimpin tercermin dari kata-kata dan sikapnya yang senantiasa konsisten, dan intelektualitas, kompetensi, profesionalismenya telah dia buktikan dengan karya-karya nyata.

Selama menjabat Menteri Kominfo, Nuh membuat berbagai keputusan-keputusan berani. Salah satunya tindakannya yang sempat mengundang kontroversi adalah terkait film Fitna, berani memblokir berbagai situs yang memuat video yang dianggap melecehkan Islam tersebut. Langkah itu sempat dikecam, “Membunuh rusa dengan membakar hutan.” Selain itu, dibawah kepemimpinannya, Depkominfo berhasil menggolkan Undang Undang Informasi dan Transaksi Eletronik (UU-ITE). Undang Undang ini lagi-lagi mendapatkan kecaman, karena dianggap memasung kebebasan informasi dalam dunia maya, dimana salah satunya situs-situs yang berbau pornografi dilarang beredar di Indonesia. Namun The  Show Must Go On.

Nuh tetap berpegang teguh kepada suatu misi yang dia emban, yaitu menyediakan informasi yang bebas dan bertanggung jawab. Karena menurut dia, Ikon teknologi saat ini bukan pada pabrik atau komputer, melainkan informasi, karena teknologi dan informasi harus dikemas ‘partner’ untuk menggerakkan pendidikan, ekonomi, pemerintahan dan sebagainya.

Masyarakat Indonesia patut berterima kasih atas gebrakan Nuh membongkar praktek bisnis seluler yang terlalu menguntungkan penyedia jasa dan operator, baik tarif telepon maupun sms. Apakah itu karena dia tahu persis margin biaya produksi dan biaya jual? Jawabnya: Ya...! Tetapi keputusan itu lebih disebabkan oleh pribadinya yang jujur dan bersih, integritasnya yang tinggi dan kepedulian terhadap bangsa dan bukan kepedulian terhadap diri atau kelompok.

Pada pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, Presiden SBY kembali memilih Muhammad Nuh untuk mendampinginya sebagai Menteri Pendidikan Nasional. Di pundaknya kini memikul amanah untuk mensukseskan program-program pendidikan nasional yang transparan, akuntabel dan profesional. Dan untuk itu, Nuh dituntut untuk mampu mensinergikan seluruh stakeholder di bidang pendidikan untuk bergerak dan melangkah ke arah dan tujuan yang sama, mencerdaskan generasi bangsa dan membangun kader-kader penerus pembangunan yang berkarakter.

Mencermati usaha-usaha menuju kemandiran bangsa, Nuh meyakini bahwa pendidikan bisa diibaratkan seorang ibu yang hamil tua yang akan melahirkan generasi baru. Dalam kondisi yang normal, kelahiran sang bayi bukan saja sangat membahagiakan tapi juga sangat dinantikan. Kondisi kesehatan fisik, psikis, asupan gizi yang baik dan perhatian untuk Ibu hamil harus dijaga agar melahirkan bayi yang berkualitas.

Di balik prestasi dan titel, suami dari drg. Laili Rachmawati dan ayah satu puteri Rachma Rizqina Mardholtilah ini tetaplah pribadi yang sederhana dan bersahaja. Dalam suatu kesempatan, beliau tidak sungkan-sungkan berdialog dengan para blogger di dunia maya, terkait masalah UU-ITE. Beliaupun masih sering mengisi khutbah Jumat di berbagai masjid. Bahkan rumah beliaupun masih rumah bercat coklat yang terletak di Jalan Rungkut Asri Utara, Surabaya Jawa Timur, sebuah rumah sederhana jika dibanding rumah-rumah di sekitar yang nampak mewah. “Hidup adalah ibarat sekolah, ada proses belajar dan ada soal saat ujian. Soal ujian ada untuk dijawab, dan bukan untuk dijadikan soal baru,” kata Muhammad Nuh saat khutbah Idul Adha 1942 H.



KESEMPATAN MUNGKIN HANYA DATANG SATU KALI


MEMBANGUN ITU SEPERTI MENANAM POHON 

PARA PEMIMPIN





**** Sumber:  BUKU BIRU BESAR --” INSPIRING TO SUCCES”,  Menuju Kemandirian Bangsa, Jejak Langkah 100 Almuni ITS, 2010